Foto: Kumparan.com

Wacana tentang Menteri Kepesantrenan muncul dari pernyataan calon wakil presiden Ma’ruf Amin, ketika disampaikan Ma’ruf Amin di Kendal, Jawa Tengah, Senin, (4/2/2019).

Dari pernyataan tersebut, tujuan diadakanya Menteri Kepesantrenan atau Direktorat Jendral Pesantren supaya eksistensi pesantren diakui oleh kalangan masyarakat dan negara, sehingga lulusan – lulusan pesantren dapat berkiprah lebih luas setelahnya.

“Karena ingin peran pesantren itu lebih punya peran besar ke depan dan memperoleh pengakuan dari masyaratat, pengakuan negara sehingga pesantren kita bisa berkiprah luas,” ujarnya.

Ketika kita menilik sejarah pesantren di Indonesia di era ’60-an sampai ’90-an, pesantren mempunyai peran yang kuat dan besar dalam beberapa bidang. Pertama, sosial, yang dapat dibuktikan dengan kajian institusi yang semarak di era tersebut.

Kedua, pesantren sebagai entitas budaya, turunan dari kajian ini menjelaskan pola – pola komunikasi maupun sisterm distribusi informasi dalam setiap agen pesantren (Horikoshi 1987). Artinya pesantren sejak dulu sudah mempunyai sistem komunikasi sosial sendiri dalam berhubungan dengan masyarakat dan negara maupun dengan pesantren – pesantren yang lain di Indonesia, baik dalam distribusi kurikulum pesantren maupun distribusi jaringan antar pesantren sehingga dalam masyarakat pesantren sudah mendapatkan pengakuan atas kiprah pesantren dalam bidang sosial dan mewarnai entitas budaya di Indonesia.

Horikoshi mengeluarkan bukunya yang berjudul  Curtural Broker yang ditujukan untuk Kyai, karena dengan kekuasaan yang dimilikinya, Kyai dapat menjadi “penyaring” berbagai masukan kepada lembaga pesantren.

Selain itu studi Gus Dur (2001) menyimpulkan, bahwa entitas pesantren adalah subkultur dari kultur besar diluarnya, komplesksitas  dan keragaman institusi yang terjadi dalam pesantren menjadikan demikian independensinya dari lembaga luar. Artinya, pesantren sendiri mempunyai institusi yang sangat kompleks dengan tujuan supaya budaya yang sudah tertanam di dalam pesantren tetap terjaga dan terlestarikan.

Pesantren sebagai subkultur dari kultur diluarnya mempunyai tiga komponen inti, yaitu; Keteladanan Kyai, tidak terkooptasi oleh pemerintah, dan dalam sisi sumber pengetahuan, kitab – kitab yang diambil sebagai rujukan adalah dari kitab – kitab klasik karya Ulama’ – Ulama’ besar yang sering kita dikenal dengan kitab kuning atau kitab pegon. Komponen itulah yang kemudian bergerak berdampingan sehingga membentuk budayanya sendiri. Rekam jejak pesantren sejak era ’60-an sampai sekarang tanpa adanya kontribusi pemerintah dalam institusinya dapat diketahui bahwa pesantren sudah mendapatkan pengakuan di masyarakat luas dan juga pesantren memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam berdirinya dan perkembangan bangsa indonesia.

Dengan rencana diadakanya menteri kepesantrenan atau direktorat djendral pesantren dengan status pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal akan sangat rentan dengan lembaga-lembaga pendidikan nonformal yang lain dan juga akan berpengaruh terhadap budaya budaya pesantren yang sudah tertanam didalamya.
Daftar pustaka
Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiyai Dan Perubahan Sosial, P3M.
Hermansyah, Tantan. 2014. Keberlanjutan Dan Kebertahanan Kajian Pesantren Di Indonesia, LP2M.      

Penulis: Ahvas Aulawi, Jurnalis LPM SQ
Editor: Habibulloh Malik, Pimred LPM SQ 2018-2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *