Foto : google.com




Matahari tepat berada di atas kepala ketika kami tiba di bandara Adi Sucipto Yogjakarta, setelah kurang 1 jam aku dan Aisyah duduk di ruang tunggu, dikejutkan dengan hadirnya seseorang wanita yang sangat cantik, putih dengan rambut pirang yang sengaja terurai, mata biru, pipi kemerahan dan membawa secarik kertas bertuliskan nama Aisyah, sontak saja Aisyah lari mendekati dan memeluk wanita itu yang berbalut celana jeans dan memakai jaket tebal.


“You Chaterinna Madavva?,” tanya Aisyah kepadanya, lalu gadis itu mengangguk dan tersenyum manis sambil menggengam erat tangan Aisyah,

“Yes, Aisyah Khumairah, balik tanya wanita cantik itu.

Mereka berpelukan lagi, aku yang dari tadi berdiri seakan tidak ada, setelah mereka melepaskan rasa bahagia karena pertemanan yang istimewa, baru sadar bahwa diantara mereka ada aku, lalu Aisyah memperkenalkanku dengan wanita bule itu setelah seharian kami berada di kota Yogyakarta, tepatnya di pusat perbelanjaan Malioboro.

Jam menunjukkan pukul 4 sore, kamipun bergegas untuk pulang ke desa, kami menaiki travel yang langsung menuju desa kami. Di tengah perjalanan tak hentinya mereka mengobrol, aku hanya sesekali saja ikut tersenyum, Aisyah mempraktekkan semua kemampuan bahasa inggrisnya.

Akhirnya tibalah kami di kampung halaman. Aku bawakan tas dan semua barang milik wanita itu masuk ke dalam rumah Aisyah. Ayah dan ibu Aisyah sangat senang mereka menyambut hangat kedatangan tamunya itu.

Setelah agak lama aku di rumah Aisyah, aku pamitan untuk pulang ke rumah, aku berpamitan dengan ayah Aisyah,

“Bapak, saya pamit pulang dulu, Aish aku pulang dulu yaa..” kataku sambil bersalaman tangan dengan bapak Aisyah.

“Iya nak, terimakasih hari ini kamu sudah menemani Aish, salam untuk ayah dan ibumu di rumah yaa…,” jawab bapak Aish sambil tersenyum lebar penuh kasih, kemudian Aish melanjutkan percakapannya.

“Iya Kemal, hati – hati di jalan, istirahatlah di rumah pasti kamu lelah, terimakasih banyak ya, seharian ini sudah mau menemani dan mengantarkanku menemui Catherinne… Ohh ya jangan lupa besok kembali kesini menjemput kami, pasti besok pagi Catherinne ingin jalan – jalan melihat desa kita,” jawab Aishyah sambil mengingatkan. 

Kuanggukan kepalaku menandakan setuju untuk menemani mereka jalan – jalan besok pagi sambil aku berjalan menuju pintu keluar.

Assalamualaikum, kataku sambil aku menghidupkan motor bututku.
Waalaikum salam, ucap ayah Aish sambil  melambaikan tangannya,

Sesampainya di rumah, ku ucap salam dan ku buka pintu rumah lalu ibu menjawab salamku, aku melihat Aqilla adikku tengah belajar dengan ditemani ibu duduk di kursi sebelahnya,

Malam sekali mas sampai rumahnya, mana oleh olehnya dari untuk Qilla, begitu sambutnya ketika ku masukkan motor.

“Qilla bukannya sediakan teh hangat dan masakkan air hangat untuk abang mandi, sudah ditanyakan oleh – olehnya mana ada, tenang aja, bakpia pathok kesukaanmu,” jawabku sambil membuka ransel dan ku keluarkan bakpia yang ku beli.

“Hehe, iya abang, habis ini Qilla buatkan teh hangat dan air untuk mandi. Wah terima kasih banyak ya mas, oleh – olehnya untuk Qilla, mas gimana? udah ketemu temennya mbak Aish, cantik gak, putih gak? tinggi gak?,” Aqilla bertanya sambil menikmati bakpia kesukaannya yang aku bawa.

“Ya tentu cantik, putih, tinggi dan ramah, sepertinya dia sama seperti Aish mempunyai kepribadian yang lembut. Besok aku kenalin kamu dengan wanita itu, biar kamu pinter bahasa inggris,” jawabku sambil menuju ke kamar.

“Tunggu Mal,” langkahku terhenti oleh suara ayah,

“Mal kalau besok kamu berangkat ke kampus, ayah minta tolong yaa belikan pupuk, soalnya pupuknya sudah habis,” pinta ayahku sambil menunjukkan wadah pupuk yang harus ku beli besok.

 “Iya Yah besok aku belikan,” sembari aku melanjutkan ke pintu kamar lalu kurebahkan badan ke tempat tidur.

Lalu entah aku telah tertidur dan terbangun dengan suara adzan Shubuhnya ayah yang berkumandang di masjid dan aku segera bangun dan bergegas untuk mengejar jama’ah sholat Shubuh.

Hari – hari kami lalui selalu bertiga, aku, Aisyah dan Catherine. Hanya ketika ke kampus saja Chaterine tinggal di rumah. Dia ikut kegiatan yang kami lakukan di kampung kami, orangnya mudah bergaul dan menjadi pusat perhatian semua orang, sedikit demi sedikit dia belajar Bahasa Indonesia dengan baik.
Lalu kami bertiga pergi ke rumahku dan ku ajak Chaterrine bertemu dengan adikku.

“Assalamu’alaikum Qilla, ini ada temen mas,” kataku ketika ku buka pintu rumahku, dengan sangat tergesa – gesa adikku yang cantik jelita itu keluar dari kamar dengan tersenyum.

Mana mas? wah cantik sekali ya mas, hallo my name is Aqilla..” tanya Qilla dengan bahasa Inggrisnya, Chatterine tersenyum malu dan mengulurkan tangannya.

Hallo Aqilla, my name is Chatterine, I’am come from Australia, I’am new friend Kemal and Aisyah”.

Lalu mereka berduaberbincang dengan gembira dan Qilla sedikit demi sedikit bicara berbahasa Inggris dengan Chatterinne yang sesekali di timpali olehku dan Chaterinne tertawa renyah.

Sampai ayah dan ibu pulang dari ladang, Chatterine masih berada di rumah.

Ini ya yang kamu jemput kemarin di bandara Mal?”, kata ibuku sambil menyiapkan makanan di meja.
Iya bu namanya Chatterine dia asal Australia Bu, biar jadi objek buat belajar Qilla Bu, biar dia tambah pinter bahasa Inggrisnya kan,jawabku kepada Ibu.

Setelah di tawarkan makan oleh ibu, Chaterinne mau dan kami makan bersama dan yang jelas Chaterinne sangat senang sekali karena dia diterima dengan hangat di keluargaku.

Menjelang Ashar, aku mengantarkan Chaterrine pulang ke rumah Aisyah, sesampainya di depan teras rumah Aisyah, Aisyah terlihat datang dari dalam rumah dan menyambut kami.

“Wah seharian pergi kemana saja kalian sampai tidak ingat denganku, kamu diajak ke rumah Kemal yaa, kamu betah disana?”, Tanya Aisyah menyergas bak petasan. Chatterinne hanya tersenyum dan mengangguk.

“Maaf Aish tadi kan Aish sibuk dengan tugas Aish, jadi ku ajak Chaterinne main ke rumahku daripada dia bosan di rumah saja,” jawabku kepada Aisyah.

Lalu Aish mempersilahkan kami masuk. Chaterinne dan aku masuk ke rumah. Kami bertiga sangat asyik mengobrol sampai terdengar suara adzan Maghrib lalu kami sholat berjamaah di rumah Aish, sementara itu Chaterinne hanya duduk sambil memperhatikan kami sholat. Setelah itu beberapa menit kami lalu pergi berkunjung ke rumah ketua Karang Taruna untuk membahas acara untuk bazaar Ramadhan yang sebentar lagi akan datang.

Tak lupa kami juga mengajak Chaterrine ikut dengan kami, Chaterinne selalu menulis apa saja yang kami lakukan di buku diarynya karena dia juga seorang jurnalis muda di Australia.

Waktu berlalu dengan sangat cepat, haripun berganti, tak terasa sudah sebulan lebih Chaterinne berada di Indonesia tepatnya di kampung kami. Chaterinne sudah semakin fasih berbahasa Indonesia dan dia sudah belajar banyak tentang budaya Indonesia disini.

Kami semakin dekat saja, kami sangat paham dengan pribadi kami satu sama lain. Dimanapun kami selalu bertiga, aku, Aisyah dan Chaterrine. Hari hari kurasakan biasa saja tiada perasaan lebih pada sesosok wanita cantik berparas manis seperti chaterinne itu.

Tapi sudah satu minggu terakhir ini, aku rasakan hal yang aneh hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku rasakan ingin selalu dekat dengan Chaterinne, jika tidak bertemu sehari saja rasanya lama sekali. Aku termenung, ku peras kain pel dan ku jemur di sebelah masjid, aku baru saja membersihkan masjid tapi daritadi pikiranku melayang – laying entah kemana.

“Perasaan apa ini ya?”, tanyaku dalam hati galau dan kacau, apakah pantas seorang Kemaluddin ini yang seorang anak petani kecil dan sekaligus seorang marbot di masjid, mencintai seorang wanita bule seperti Chaterrine, cantik, berpendidikan tinggi dan tentunya berasal dari keluarga yang kaya. Rasanya mustahil sekali aku menghayal seperti ini.

“Ahh… Ini perasaan yang salah, apa sih, siapa aku,” bisikku di hati tak hentinya tentang dia.

Dan akupun segera mengunci pintu masjid dan bersiap untuk pergi kuliah dan menjemput Aisyah. Ku hidupkan motor kesayanganku dan menuju ke rumah Aisyah. Sesampainya di rumah Aisyah dari kejauhan aku melihat makhluk cantik itu sedang duduk di teras depan dengan ayahnya Aisyah. Berdebar hatiku menatap mata Chaterinne yang saat itu sudah tersenyum kepadaku dari kejauhan, jadi tiba – tiba grogi.

Assalamualaikum Pak,” salamku sambil menjabat erat tangan ayah Aisyah,

Waalaikum salam Mal, sudah beres semua pekerjaan di masjid? Bersih dan rapi kan Mal?, tanyanya padaku.

“Alhamdulillah pekerjaan di masjid sudah saya selesaikan semua pak, jawabku sambil hormat dan mengajak ayah Aisyah bercanda. Ayah Aisyah tertawa renyah dan tak ku duga Chaterinne bertanya dalam bahasa Indonesia.

“Wah Kemal kamu sangat pekerja keras ya, saya salut denganmu, kamu melakukan pekerjaan yang tidak semua orang bisa melakukannya seperti kamu Mal,” katanya sambil mengacungkan jempolnya ke arahku, aku terkesima dengannya.

(“Kenapa sudah sangat pandai memakai bahasaku ya,” kataku dalam hati,)

Wah chaterinne semakin hari semakin pandai kamu dengan bahasa Indonesia, kamu terus menerus belajar dengan Aisyah ya?,” tanyaku kepada Chaterinne, dan Chaterinne tertawa lebar dan mengangguk.

“Iya Mal, Chaterinne juga sedang belajar mendalami agama Islam, dia terlihat sangat ingin belajar agama kita Mal, dia sangat rajin dan bersemangat sekali,” kata ayah Aisyah memberi tahuku.

“Apa itu benar Pak? Wah Ramadhan besok kamu harus ikut puasa Chatrinne,” kataku pada Chatrinne.

“Harus dong Mal, kan udah satu bulan lebih kita sih nggak memaksa, cuma dianya yang mau sendiri,” kata Aisyah yang sudah bersiap dengan tas di pundaknya.
Penulis : Adisty Nur Andini/LPM SQ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *