Sumber: Google.com


Semoga saja ya Aisyah.. Ayoo kita berangkat,” kataku sambil berjalan ke arah motorku. Kami menuju ke kampus, sepanjang perjalanan kami ngobrol tentang Chatrinne.

Akhirnya ramadhan telah tiba kami sambut dengan gembira bulan penuh berkah ini. Aku dan Chatrinne juga Ais ikut sibuk dalam acara bazar ramadhan. Chatrinne yang seorang jurnalis sibuk meliput, sedang aku dan Ais sibuk di pembelian tiket tenda. Setelah semua selesai tiket terjual habis oleh pedagang dadakan maklum untuk bulan puasa banyak orang yang tidak biasa jualan atau bukan pedagang menjadi jualan dan berdagang, ya mungkin itu istimewanya bulan ramadhan. Bulan yang ditunggu berjuta umat islam, bulan penuh kemenangan dan ampunan.

Waktu berlalu hari berganti hari, kami lakukan bersama.Chatrinne semakin dekat denganku dia sering datang ke rumah menggunjungi keluargaku. Bermain dengan Aqila adikkubercerita dengan ibuku. Ayah yang orangnya pendiam hanya lempar senyum ketika ada Chatrinne di rumah.

Aku yang semakin bingung tak menentu dengan perasaanku sendiri, akhirnya di bulan ramadhan ke – 20 aku mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepada Chaterinne, dan Chaterine pun ternyata sudah lama sama – sama memendam perasaan yang sama kepadaku. Akhirnya kami menjalin hubungan yang istimewa, hari –  hari terasa indah saatku jalani bersama Chaterinne, dia selalu setia menemaniku.

Ketika aku sedang membersihkan masjid, dia selalu bertanya tentang banyak hal kepadaku, hingga pada suatu hari ketika aku, Aisyah, ayah Aisyah dan beberapa pemudapemudi lainnya tengah menanti buka puasa bersama di masjid, dengan mendengarkan ceramah ustadz muda di desa kami, Chaterinne memberi isyarat padaku dari luar masjid, Lalu Aisyah dan aku keluar,

Ada apa Chaterinne??tanya Aisyah sambil keluar menghampiri Chaterinne yang sudah duduk di terasa samping masjidsedang aku duduk di samping wanita yang beberapa hari ini menjadi kekasihku.

Chaterinne terdiam sejenak,dia seolah mau berkata tapi takut matanya berbinar menatapku dan Aisyah, lalu dia menghembuskan nafasnya sejenak dan melontarkan kata – kata yang membuat aku dan Aisyah sangat bahagia,

Aisyah, Kemalsaya ingin masuk Islam. Saya ingin menjadi seorang muslimah, saya sudah memantapkan hati saya dan alhamdulillah inilah keputusan saya. Tolong bantu saya melantunkan dua kalimat syahadat,” aku dan Aisyah termangu dan terdiam sejenak, kami seolah tak percaya.

“Benarkah Chaterinne, kamu ingin masuk ke agama kami? Masya Allah maha besar Allah telah memberi keajaiban ini,” teriak bahagia Aisyah sampai terdengar oleh ayahnya dan menoleh kearah kami lalu Aisyah menutup mulutnya.

Chaterinne? Apa kamu sungguh – sungguh? Aku masih tak percaya denga nucapanmu ini. Bagaimana dengan keluargamu disana? Apa mereka mengetahui semua ini Chaterinne, apa mereka setuju dengan keputusanmu ini?” kataku sambil meyakinkan diriku sendiri.

Bagaimana kedua orang tuamu Rin? Apa kamu sudah pikirkan ini baik–baik apa ini keputusan dari dalam hatimu?” tambah Aisyah.

Chaterinne tersenyum sambil membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam tas, yang ternyata adalah jilbab.

Orangtuaku, keluargakumereka semua menyetujui keputusanku ini, mereka semua serahkan padaku, kami baik – baik saja tidak ada masalah apapun karena ini. Mereka merelakanku dengan ikhlas jika ini yang terbaik untukku, tolong Aisyah bilang ke ayahmu untuk membantuku melantunkan kalimat syahadat,” kata Chaterinne menjelaskan semuanya kepada kami.

Aisyah lalu memeluk wanita bule itu dengan rasa sangat erat dengan berlinangan air mata, keadaan saat itu menjadi haru bahagia dan aku sangat bersyukur sekali.

Terimakasih atas nikmatmu ini ya Allah, terima kasih telah memberi keajaiban dalam hidupku ini,” ucapku dalam hati sambil tersenyum kepada Chaterinne.

Lalu kami bertiga masuk ke dalam masjid dan menjelaskan semuanya kepada orang – orang yang ada di dalam masjid termasuk ayah Aisyah, mereka sontak melantunkan takbir. Masya Allah mereka ikut berbahagia dengan masuknya Chaterinne ke agama Islam, karena mereka juga kenal baik dengan Chaterinne.

Setelah berbuka puasa, Chaterinne membaca dua kalimat syahadat dan dia memakai jilbab yang ternyata jilbab itu adalah pemberian dari Aqilla adikku, kemudian di beri tambahan nama oleh ustadz Fahmi yang membimbing dia membaca dua kalimat syahadat dengan nama “Chaterinne Khumaira Madavi” itulah nama baru Chaterinne setelah masuk Islam. Setelah dia sudah menjadi seorang muslimah dia lebih sering ke rumah entah dengan Aisyah atau tidak, belajar apa saja, pergi sholat di masjid mengikuti sholat terawih, berpuasa dan rutin membaca Al – Qur’an. Ayah yang memang dari dulu datar saja menanggapi hubungan aku dengan Chaterinne ketika sudah mengetahui Chaterinne masuk Islam.

“Ohh ya syukur alhamdulillah Mal, terus bimbing dia untuk jadi muslimah yang taat, ayah hanya berpesan padamu Mal gantungkan harapanmu kepada Allah, jangan kepada manusia nantinya hanya mendapat rasa kecewa saja. Bagaimanapun dia bukan orang sini, dia masih punya orangtua dan pekerjaan disana, jangan sampai nantinya kamu hanya dijadikan bahan tulisannya saja,” pesan ayah untukku ketika kami mau memulai sahur.

“Iya Mal, mencintai sesorang juga tidak harus memiliki, kamu suatu saat juga harus siap untuk kehilangan, rasanya tidak mungkin sekali kamu menikah dengan Chaterinne, ingat kita ini siapa, dia itu siapa,” Ibu berkata sambil berbenah di meja makan menyiapkan hidangan untuk sahur sedangkan aku hanya terdiam dan mendengarkan apa yang di katakan oleh ayah dan ibuku.

Sebenarnya dalam hatikupun seperti itu tapi ini urusan hati, soal hati bukan berarti cinta buta tapi perasaan ini yang tidak dapat ku bohongi dan tidak dapat aku pungkiri kalu itu cinta.

Kami jalani puasa ini bersama, kemanapun juga selalu bersama – sama. Aku pernah mengatakan kepada Chaterinne kalau kita tak mungkin bersatu tapi Chaterinne menyakinkan aku untuk bertahan dan bersabar, Aisyah yang tak tau keadaan kami hanya tertawa dan memberi saran, dia memang sahabat sejati jadi tau mana yang terbaik untukku,

“Sudahlah Mal jalani saja dulu, nggak usah di ambil pusing, kaya orang kebakaran jenggot aja sih,” begitu Aisyah berkata kepadaku,

“Iya nih Aish, aku juga bingung antara suara hatiku dan kedua orangtuaku tapi benar juga katamu, jalani dulu aja ya Aish,” jawabku sambil tersenyum kepada Aisyah.

“Nah, gitu dong Mal yang semangat, jangan pesimis gitu.. Udah yuk berangkat ke masjid udah saatnya menyiapkan makanan buat buka puasa,” ajak Aisyah kepadaku, akupun mengangguk dan segera menghidupkan motorku lalu kami berangkat ke masjid.

Kami jalani hubungan kami dengan sangat rahasiahanya orangtuaku yang tau tentang hubungan kami. Kutemani Chaterinne kemanapun dia mau. Memotret, meliput dan halhal lain yang dia suka. Para wargapun sering senang melihat Chaterinne wanita bule berparas cantik yang sudah muslim dan memakai balutan kain di kepalanya, terlihat sangat anggun dan cantik.

Pada suatu hari kami sedang jalan – jalan menunggu adzan Maghrib, aku menanyakan sesuatu kepada Chaterinne dengan penuh perasaan.

Yaa Khumaira, setelah hari raya Idul Fitri apakah kamu akan pulang? Akankah kau kembali lagi?,” tanyaku sambil kutatap matanya penuh arti. Lalu Chaterinne berhenti berjalan dan menoleh ke arahku dia menatapku dengan penuh rasa yang sulitku artikan bahagia atau sedih entahlah aku tak tau. Bibirnya masih diam terkatup rapat sedang aku tetap berdiri dan kami saling tatap tanpa kata, setelah kami diam beberapa menit akhirnya Chaterinne berkata,

“Mal, saya pulang dengan membawa Syahadat dan Cinta darimu, dari Aisyah, dan dari keluargamu. Semua itu akan terpatri sampai mati jika Allah berkehendak saya pasti kembali padamu Mal,” katanya penuh yakin.

“Apakah kamu yakin Chaterinne? Kamu akan kembali lagi padaku? Jika memang benar kamu adalah jodoh yang telah di pilih Allah untukku, aku akan sangat sabar setia menantimu disini dengan penuh harap semoga Allah menyatukan kita dengan ikatan yang halal, terimakasih Khumairaku,” aku tersenyum dan diapun mengusap air mata yang tak terasa mengalir dipipiku sambil tersenyum manis kepadaku.

Kami masih terbawa suasana saat itu hingga adzan Maghrib mengagetkan kami. Waktu berbuka puasa – pun tiba, aku memegang tangan Chaterinne dan kamipun berlari menuruni tangga gardu pandang untuk kembali ke rumah.

Penulis: Adisty Nur Andini / LPM SQ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *