SQPers – Di antara deretan ulama di tanah air, nama KH Muntaha al-Hafidz tentulah bukan nama yang asing, beliu adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) Al-Asy’ariah, Kalibeber, Wonosobo . Beliau adalah sosok di balik megahnya bangunanan Pondok Pesantren, sekolah SMA dan SMP Takhassus Al-Qur’an serta Univeraitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo, yang sebelumnya bernama Inatitut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), sewaktu beliau masih menjabat sebagai Rektor.
Lahir
Sumbah KH. Muntaha al-Hafidz lahir sekitar tahun 1910 M di Kalibeber, Wonosobo. Beliau adalah ulama multidimensi yang mempunyai segudang ide dan pemikiran cemerlang yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi ulama lainnya.
Wafat
Setelah mengabdi dan mengamalkan ilmunya selama puluhan tahun kepada umat, akhirnya beliau dipanggil untuk menghadap-Nya, kembali kepada Tuhan yang menciptakannya, Allah swt. Tepatnya pada hari Rabu Tanggal 29 Desember 2004. Beliau dimakamkan di dekat makam ayahnya al-Maghfurallah KH. Asy‘ari, Wonosobo yaitu di bukit Ndero Nduwur. Mudah-mudahan Allah swt. menempatkan beliau pada tempat yang mulia yaitu tempatnya orang-orang yang shaleh yang berada di dekat-Nya.
Istri
KH Muntaha Al Hafidz pernah mempersunting lima orang istri, yaitu Ny. Hj Saudah dari Wonokromo-Wonosobo, Ny. Hj. Maryam dari Parakan-Temanggung, Ny. Hj. Maijan Jariyah Tohari dari Kalibeber, Ny. Hj. Hinduniyah dari Kalibeber dan Ny. Hj. Sahilah dari Munggang-Mojotengah.
Nasab Keturunan
Simbh KH. Muntaha al-Hafidz adalah putra dari KH. Asy‘ari Wonosobo bin KH. Abdurrahim bin Kya Muntaha bin Kyai Nida Muhammad. Ibunya bernama Hj. Syafinah.
Pendidikan
Simbah KH. Muntaha al-Hafidz menuntaskan hafalan Al-Qur’an saat berumur 16 tahun di Pondok Pesantren Kauman, Kaliwungu, Kendal, di bawah asuhan KH. Utsman (Mertua KH Asror Ridwan). Setelah selesai menghafal Al-Qur’an di Pesantren Kaliwungu, beliau lalu memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Pondok Pesantren al-Munawwir (PP Krapyak Yogyakarta) asuhan KH. Munawwir aR-Rasyad (KH Munawir, Krapyak, Yogyakarta). Selanjutnya KH. Muntaha al-Hafidz berguru kepada KH. Dimyati di Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Pendidikan Masa Kecil
Alkisah, saat usia beliau masih belia, beliau berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kauman, Kaliwungu, PP Krapyak Yogyakarta dan PP Termas, Pacitan, beliau tempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu, dilakukannya dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, KH. Muntaha al-Hafidz selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan betapa kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki beliau dalam mencari ilmu.
Dan pada tahun 1950 kembalilah beliau ke Kalibeber untuk melanjutkan estafet kepemimpinan ayahnya dalam mengasuh PPTQ al-Asy’ariah, Wonosobo. Berbagai ide KH. Muntaha al-Hafidz terimplementasikan selama memimpin Pondok.
Ide di bidang pendidikan tampak dengan munculnya berbagai unit pendidikan, antara lain Taman Kanak-kanak Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy‘ariyyah, Tahfizdul Qur’an, SMP Takhassus Al-Qur’an, SMU Takhassus Al-Qur’an, SMK Takhassus Al-Qur’an, dan Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ).
Sanad Keilmuan
Sanad tahfidz beliau yaitu: KH. Muntaha al-Hafidz dari KH. Utsman Kaliwungu/KH Munawwir Krapyak/KH Muhammad Dimyati Termas, dari Abdul Karim bin Abdul Badri, dari Isma‘il Basyatie, dari Ahmad aR-Rasyidi, dari Mustafa bin Abdurrahman, dari Syekh Hijazi, dari Ali bin Sulaiman al-Mansuri, dari Sultan al-Muzani, dari Saifuddin Ata’illah al-Fudali, dari Syahadah al-Yamani, dari Nasruddin at-Tablawi, dari Imam Abi Yahya Zakariya al-Mansur, dari Imam Ahmad aS-Suyuti, dari Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad ad-Dimasyqi al-Mansur bin al-Hizrami, dari Abu Abdullah Muhammad bin Abdul-Khaliq, dari Abu al-Hasan Ali bin Suja‘ bin Salim bin Ali bin Musa al-Abbasi, dari Abu al-Qasim asy-Syatibi as-Syafi‘i, dari Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Huzail, dari Abu Dawud Sulaiman Ibnu Majah al-Andalusi, dari Abu Umar Utsman Sa‘id ad-Dani, dari Abu al-Hasan Tahir, dari Abu al-Abbas Ahmad bin Sahl bin al-Fairuzani al-Asynani, dari Abu Muhammad Ubaid bin Asibah bin Sahib al-Kufi, dari Abu Umar Hafs bin Sulaiman bin al-Mugirah al-Asadi al-Kufi, dari Asim bin Abi Najud al-Kufi, dari Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Habib Ibnu Rabi‘ah as-Salam, dari Utsman bin Affan]]/Ali bin Abi Talib/Zaid bin Sabit/Abdullah bin Mas‘ud/Abu Bakar]/Umar bin al-Khattab, dari Rasulullah saw., dari Allah swt. melalui perantara Jibril as.
Murid
Banyak Santri-santri KH. Muntaha al-Hafidz yang menjadi tokoh/Ulama di daerahnya masing-masing, diantaranya yaitu: KH. Mufid Mas‘ud, PP Sunan Pandanaran-Yogyakarta, KH. Umar-Bantul, KH. Syakur-Brebes, KH Sholihin-Pekalongan, KH. Musta‘in-Malang, KH. Luthfi-Cilacap, KH. Nidhomuddin Asror-Kendal, KH. Hubullah-Cirebon, KH. Abdul Halim-Wonosobo, KH. Ahmad Ngisor-Banjarnegara dan KH. Yasin-Pati.
Perjuangan Kemerdekaan.
Ideologi jihad memainkan peran yang sangat penting dalam gerakan anti kolonial. Ideologi ini telah mendorong para pejuang Islam yang sebagian besar para pejuang itu adalah santri dan kiai dari pesantren. KH. Muntaha al-Hafidz dalam aktivitas perjuangan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda di daerah Temanggung. Ia menjadi komandan dalam Barisan Muslim Temanggung (BMT) 22. Dalam perjuangan tersebut, KH. Muntaha al-Hafidz yang masih muda itu bertemu dengan perjuangan lainnya di BMT, yaitu Munawir Syadzali yang kemudian pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia. Sehingga tidak heran sewaktu Muwawir Syadzali M.A menjabat menjadi Menteri Agama RI, menyempatkan diri bersilaturrahmi, berkunjung ke PPTQ Al-Asy’ariah, Kalibeber Mojotengah, Wonosobo.
Simbah KH. Muntaha al-Hafidz mewarisi sifat nenek moyangnya yaitu Raden Hadiwijoyo, atau KH. Muntaha bin Nida Muhammad. Dalam dirinya mengalir darah kepahlawanan. Simbah KH. Muntaha al-Hafidz dalam perjuangan di daerah Kedu bersama-sama, bahu membahu dengan tokoh-tokoh dari pesantren dan pejuang Islam yang lainnya. Para pejuang itu bersatu padu mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah.
Walaupun hanya dengan senjata-senjata tradisional yang dibuat sendiri seperti bambu runcing, tombak dan keris, mereka mampu mempertahankan kemerdekaan dari penjajah yang memiliki peralatan yang canggih seperti senjata api dan meriam, sebab adanya persatuan dan kesatuan. Menurut penuturan yang ada, senjata-senjata tersebut diberi do’a-do’a tertentu, sehingga keampuhan senjata itu tidak terkalahkan jika dibandingkan dengan kecanggihan senjata musuh. Bahkan hanya dengan senjata-senjata tradisional tersebut para ulama, kiai dan pejuang Islam mampu mengalahkan penjajah. Begitu juga para pejuang yang tergabung dalam Barisan Muslim Temanggung (BMT) yang dipimpinnya. KH. Muntaha al-Hafidz dalam perjuangan tidak hanya di wilayah Temanggung saja, tetapi juga ikut berjuang dan mengungsi ketika pondok pesantren Kalibeber yang di porak-porandakan oleh kolonial Belanda. Sehingga koleksi mushaf al-Qur’an tulisan tangan KH. Abdurrahim (kakek KH. Muntaha al-Hafidz) hilang bersama dengan berbagai kitab-kitab kuning lainnya, yang dimiliki oleh pesantren.
Kepala Departemen Agama
Kepala Departemen Agama dan anggota konstituante Republik Indonesia. Pengabdian KH. Muntaha al-Hafidz pada negara, juga diisi dengan pengabdian kepada pemerintah dengan menjadi aparat Departemen Agama dan pernah menjabat kepala Departemen Agama kabupaten Wonosobo pada tahun 1956.
Simbah KH. Muntaha al-Hafidz semakin naik dan banyak dikenal, tidak hanya dari kalangan politisi saja, tetapi juga dari para pejabat, baik dari tingkat pusat ataupun daerah. Sehingga ia pernah diangkat sebagai anggota konstituante RI di Bandung, mewakili Nahdlotul Ulama (NU) wilayah Jawa Tengah. Simbah KH. Muntaha al-Hafidz dalam mengikuti kegiatan-kegiatan konstituante sampai dibubarkan lembaga ini, pada tanggal 5 Juli 1959. Di lembaga kemasyarakatan atau ormas Islam, KH. Muntaha al-Hafidz menjadi anggota Syuriyah NU, kemudian menjadi anggota Mustasyar NU kabupaten Wonsobo.
Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, KH. Muntaha al-Hafidz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Asy`ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai jenjang pendidikan antara lain, Taman Kanak-Kanak Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, ‘Ulya dan Madrasah Salafiayah Al-Asy`ariyyah, SMP dan SMU Takhassus Al-Qur’an, SMK Takhassus Al-Qur`an, Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ). Khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (YPIIQ), namun cikal bakalnya berawal dari Pesantren al-Asy’ariyah. YPIIQ sendiri sebelumnya telah mendirikan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jawa Tengah sebagai embrio dari UNSIQ. Simbah KH. Muntaha al-Hafidz juga menjadi salah seorang pendiri bahkan memegang jabatan Rektor pada saat Perguruan Tinggi ini sebelum berubah menjadi universitas adalah bukti implementasi dari ide dan pemikirannya.
Implementasi dari ide dan pemikirannya di bidang pendidikan diwujudkan dengan memadukan antara pesantren yang notabene merupakan pendidikan non-formal dan pendidikan formal sejak dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Dakwah dan Sosial
Dalam bidang dakwah, dibentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah untuk aktifitas santri PPTQ Al-Asy’ariah Wonosobo dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat dalam bentuk pengabdian dan kepedulian pondok pesantren terhadap kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan. Adapun aktifitasnya, meliputi: bacaan shalawat, Qira’atul Qur’an, khitobah dengan menggunakan empat bahasa, yakni: bahasa Inggris, Arab dan bahasa Indonesia serta bahasa Jawa, juga Qosidah dan rebana yang merupakan kesenian bernuansa islami. Dalam bidang sosial, beliau juga merintis berdirinya Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) bersama dengan Adi Sasono (Menteri Koperasi dan UKM di era Kabinet Reformasi Pembangunan Orde Baru) dan Dr. KH. Sahal Mahfudz., M.A.
Bidang Seni
Implementasi dalam bidang seni, terutama seni kaligrafi, Simbah KH. Muntaha al-Hafidz mewujudkan dalam tulisan “Mushaf Al-Asy`ariyyah” (Al-Qur’an Akbar). Pada waktu dipublikasikan, Al-Qur’an ini tercatat paling besar di dunia. Ukuran mushafnya 2 x 15 m pada saat kondisi tertutup dan berukuran 2 x 3 m dalam kondisi terbuka. Pengasuh PPTQ Al-Asy’ariah Wonosob ini merupakan tokoh, ulama dan figur pemimpin yang patut untuk menjadi teladan. Aktifitas, ide, dan pemikirannya selalu berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng sedemikian rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang heterogen dan berbeda kondisi sosialnya.
Kisah Teladan Beliau
Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
Kecintaan simbah KH. Muntaha al-Hafidz terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya, KH Asy’ari Wonosobo terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, simbah KH. Muntaha al-Hafidz muda telah menjadi seorang hafidz (orang yang hafal) Al-Qur’an. Sebenarnya gelar bagi penghafal al-Quran adalah al-Hamil tapi entah sejak kapan di Indonesia gelar bagi penghafal al-Quran adalah al-Hafidz.
Hampir seluruh hidup simbah KH. Muntaha al-Hafidz didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya. Dalam kesehariannya, simbah KH. Muntaha al-Hafidz selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada simbah KH. Muntaha al-Hafidz.
Sepanjang hidup simbah KH. Muntaha al-Hafidz, Al-Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah swt. Simbah KH. Muntaha a-Hafidz tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an. Sering simbah membaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur di serambi rumahnya. Menurut beliau, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, simbah KH. Muntaha al-Hafidz selalu menasehati para santrinya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.
Kecintaan simbah KH. Muntaha al-Hafidz terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis Tafsir Maudhu’i atau Tafsir Tematik yang dikerjakan oleh sebuah tim yang diberi nama Tim Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di PPTQ al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu al-Quran (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan simbah KH. Muntaha al-Hafidz tentang penulisan tafsir ini mengandung maksud untuk menyebarkan nilai-nilai al-Qur’an kepada masyarakat luas.
Karomah Kewalian
Banyak tokoh pemimpin negeri ini yang menyempatkan datang ke desa Kalibeber yang terletak di pegunungan Dieng untuk sowan kepada simbah KH. Muntaha al-Hafidz. Di Antara mereka yaitu; Al-Maghfurallah KH. Abdurrahman Wahid, Wiranto dan Akbar Tanjung. Simbah KH. Muntaha al-Hafidz adalah pendiri Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Wonosobo yang pada waktu berdirinya memiliki 3 Fakultas, yaitu Tarbiyah, Dakwah, dan Syari’ah. Atas prakarsa simbah KH. Muntaha al-Hafidz, IIQ sekarang telah berubah nama menjadi Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ) Wonosobo yang memiliki Fakultas- Fakultas umum. Sejak IIQ didirikan (1988) sampai tahun 2001, simbah KH. Muntaha al-Hafidz menjabat sebagai rektor IIQ Wonosobo. Begitulah simbah KH. Muntaha al-Hafidz adalah seorang kyai pesantren yang memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan Al-Qur’an. Dan di sisi lain, masyarakat percaya bahwa beliau memiliki beberapa karomah, termasuk kisah-kisah yang Khoariqul ‘Adat.
Kisah aneh ini berikut dituturkan oleh Al-Maghfurallah KH. Habibullah Idris yang menemani simbah KH. Muntaha al-Hafidz ketika beliau berkunjung ke beberapa negara di Timur Tengah, yakni Arab Saudi, Iraq, Iran, Syiria, Turki, Mesir, dan Abu Dhabi, pada waktu malam hari setelah sholat Isya’. Di madinah, selepas melepas lelah dan istirahat di pemondokan, KH. Muntaha al-Hafidz tertidur. Selepas tidur beliau bangun malam. Jam dinding menunjukkan sekitar pukul 23.00 waktu setempat. KH. Habibulloh Idris menuturkan sehabis bangun tidur malam itu, KH. Muntaha al-Hafidz mengambil air wudlu dan bergegas pergi menuju keluar. Tentu saja KH. Habibulloh Idris mengikuti kemana simbah KH. Muntaha al-Hafidz akan pergi. Apalagi beliau pergi malam hari.
“Mau pergi kemana Mbah?” tanya simbah Habib kepada simbah KH. Muntaha al-Hafidz.
“Menuju makam Rasulullah,” jawab simbah KH. Muntaha al-Hafidz singkat.
Mengetahui simbah KH. Muntaha al-Hafidz akan pergi ke makam Nabi Muhammad SAW, mbah Habib bermaksud mencegah beliau.
Setiap orang tahu bahwa makam Nabi Muhammad yang terletak di masjid Nabawi itu jika malam hari senantiasa dikunci dan dijaga oleh petugas keamanan yang selalu menjaga dengan tegas. Simbah KH. Muntaha al-Hafidz tetap saja pergi malam itu menuju makam. Bahkan, seperti duko (jawa halus marah) terhadap KH. Habibulloh Idris yang mencegahnya. Akhirnya, mbah Habib-pun mengikuti di belakang simbah KH. Muntaha al-Hafidz.
“Bagaimana akan menuju ke makam Nabi malam-malam seperti ini? Pintunya pasti trekunci dan dijaga petugas yang tidak segan-segan memukul dengan pentungan di tangannya,” pikir KH. Habibulloh Idris dalam hati.
Akan tetapi ditepiskannya keinginan untuk mencegah simbah KH. Muntaha al-Hafidz. Dan KH. Habibulloh Idris terus mengikuti dari belakang simbah Muntaha. Ternyata, simbah menuju ke salah satu makam Nabi. Yang mengherankan, pintu Makam Nabi tersebut ternyata kini terbuka lebar dan tidak ada yang menjaganya.
Padahal sungguh sesuatu hal yang mustahil apabila pintu itu terbuka lebar, apalagi tidak terjaga oleh petugas. Dalam ketakjuban, KH. Habibulloh Idris mengikuti simbah KH. Muntaha al-Hafidz menuju makam Nabi. Lama simbah Muntaha terdiam. Kemudian, simbah KH. Habibulloh Idris menyaksikan simbah KH. Muntaha al-Hafidz menangis dihadapan makam Nabi. Barangkali simbah Muntaha sedang berhadapan dengan Nabi yang sebenarnya. Dan disitu simbah KH. Muntaha al-Hafidz menjalankan sholat malam hingga waktu Shubuh menjelang.
“Ya, mengapa pintu makam Nabi yang biasanya selalu terkunci dan di jaga pada malam hari, bisa terbuka lebar untuk Mbah Muntaha?” tanya KH. Habibulloh Idris di dalam hati.
Wallahu a’lam.
Tulisan merupakan publikasi ulang dengan beberapa editan dari NahdlatulUlama.id (2017) dan dikembangkan oleh LTN PBNU dengan didukung oleh PPM Aswaja.
Editor: Habibulloh Malik, Pimred LPM SQ 2018-2019