Sesampainya di rumah Aisyah, aku bertemu dengan Aisyah dan ayahnya yang sedang duduk manis di depan teras rumah mereka sedang mengobrol dengan asik entah sedang membahas apa.
“Assalamu’alaikum bapak, Aisyah sedang ngobrol apa ini, sepertinya asik banget?” salamku sambil bersalaman dengan bapak dan Aisyah.
“Wa’alaikumsalam, Kemal, Chaterinne, kalian baru jalan – jalan dari mana ini?” tanya ayahnya Aisyah kepada kami berdua.
“Saya dan Chaterinne habis jalan – jalan di sekitaran desa pak, sambil cari inspirasi untuk bahan tulisan katanya Chaterinne ingin sekali menulis dengan bahasa Jawa,” jawabku sambil menoleh ke arah Chaterinne.
“Iya bapak, Saya sedang belajar bahasa Jawa juga,” jawab chaterinne.
“Ya sudah duduk dulu, sesekali berbuka disini mal,” tangkas Aisyah.
Lalu dengan asyik kami mengobrol berempat, aku, ayah Aisyah, aisyah dan Chaterinne. Kami banyak mengobrol dengan menggunakan bahasa Jawa, aku melihat Chaterinne, dia sangat memperhatikan cara bicara aku, ayah Aisyah dan Aisyah, dia sepertinya ingin sekali cepat bisa berbicara menggunakan bahasa Jawa dengan fasih. Lalu kami mengajarkan dia untuk berbicara menggunakan bahasa Jawa. Dia kelihatan sangat lucu sekali bicara menggunakan bahasa Jawa, kami pun dibuat tertawa olehnya, suasana jadi riang.
“Pintar sekali kamu buat orang lain tertawa,” gurauku menggoda Chaterinne.
“Aku senang kalian tertawa karenaku,” jawab Chaterinne sambil tersipu malu.
Semenjak banyak belajar bahasa Jawa, Chaterinne jadi sering main ke rumahku untuk mengobrol dengan ibu, ayah dan adikku. Ayah yang memang pendiam hanya sesekali menanggapi obrolan kami. Sedang ibu dan adikku sangat senang dengan kehadiran Chaterinne kerumah. Sesekali mereka mengajari Chaterinne kosa kata bahasa Jawa yang belum dipahami dan belum dimengerti. Warga sekitar terkadang sering dibuat tertawa dan terlihat geli ketika Chaterinne bertanya kepada mereka menggunakan bahasa Jawa, namun para warga memaklumi dan memahami hal itu karena Chaterinne sedang belajar dan memang belajar itu tidak mudah dan membutuhkan sebuah proses. Apalagi orang asing yang belajar bahasa Jawa. Sukurnya warga kampung kami orangnya baik – baik dan bisa dibilang modern, meskipun di kampung, mereka para warga juga sering menggoda ayahku ketika ayah sedang mencangkul di ladang.
“Wah yang mau dapat mantu orang luar negeri nih,” begitu celoteh mereka para warga.
“Enggak tau Pak, jodoh kan sudah ada yang ngatur, itu juga rahasia Allah, saya serahkan semuanya pada – Nya,” jawab Ayah sambil tersenyum lebar.
Lain lagi dengan adikku yang satu ini, dia malah senang dan bangga dengan kakaknya yang mempunyai pacar orang bule.
“Enggakpapa ayah ibu, siapa tau nanti mas Kemal memang berjodoh dengan kak Chaterinne, kita juga harus bangga kan Yah. Kak Chaterinne kan sekarang dia sudah menjadi seorang muslimah, belajar bahasa kita juga sudah mulai pandai, seorang jurnalis juga, kurang apalagi coba?” begitu adikku, Aqilla bersuara ketika kami tengah makan sahur bersama.
“Kamu itu tau apa, kamu masih anak kecil, semua itu nggak mudah sayang, kan ada prosesnya. Yang kamu tau cuman senengnya aja,” jawab ayah sembari mengelus rambut hitam Aqilla.
“Yaaa…. Tapi kan Yah kalau jodoh itu nggak ada yang tau, terus siapa tau nanti mas Kemal beneran nikah sama kak Chaterinne… Hehehe,, nanti ayah dapat mantu orang bule, nanti kita besanan sama orang luar negeri,” jawab Aqilla dengan polosnya.
Ibu – pun tersenyum kepada ayah sambil menumpuk piring sisa makanan kami.
“Ibu sama anak sama aja nggak ada bedanya, sama – sama lupa diri,” jawabku sambil meminum segelas air putih.
Ayah berdiri menuju ke kamar untuk bersiap ke masjid. Sedangkan aku yang dari tadi hanya jadi pendengar menanggapi pembicaraan keluargaku hanya bisa tertawa. Dalam hatiku sebenarnya ingin ikut menyakinkan tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, apa yang ku harapan semoga terjadi. Tetapi apakah mungkin seorang Kemal akan bersanding dengan seorang jurnalis cantik asal luar negeri yang bernama Chaterinne, rasanya tidak mungkin sekali jika itu terjadi pada diriku. Seperti halnya langit dan bumi saja yang jauh berbeda. Aah.., ini seperti mimpi.
Dan tak terasa aku berjalan sudah hampir sampai di depan masjid. Disana kulihat sudah ada Aisyah dan Chaterinne yang duduk di serambi masjid sambil menunggu jamaah yang lain.
“Lho…. Sudah ada disini, orang yang barusan aku lamunkan di sepanjang perjalanan menuju masjid,” bisikku dalam hati,
Aku tersenyum sambil mengajak mereka untuk masuk ke dalam masjid, karena pak Kyai sudah datang dan jamaah yang lain – pun sudah datang memenuhi masjid. Kami melaksanakan sholat Subuh berjamaah dan mendengarkan kultum yang disampaikan oleh pak Kyai. Chaterinne sudah mulai memahami isi ceramah dengan baik, dia juga sering bertanya banyak kepada Aisyah jikalau ada perkataan yang kurang dimengerti. Aisyah – pun selalu mengajarkan banyak hal kepada Chaterinne, selain tentang bahasa Jawa, juga mengajarkan kepada Chaterinne tentang membaca al-Qur’an, dan mengaji.
Tak terasa Lebaran tinggal beberapa hari lagi dan Ramadhan akan segera berakhir. Kami mempersiapkan segala sesuatu menjelang lebaran, membersihkan seluruh rumah, membuat kue dan lain sebagainya untuk persiapan memperingati datangnya hari Lebaran. Dan tak terasa perpisahan akan segera tiba antara aku dan Chaterinne. Semakin sedih jika aku selalu memikirkan soal itu.
Waktu sore tiba, Chaterinne datang ke rumah dengan membawa makanan di tangan kanan dan kirinya.
“Assalamu’alaikum,” salamnya sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumsalam Chaterinne, wah tangan kamu bawa apa itu?” tanyaku sambil membukakan pintu rumah.
“Ini aku habis belajar masak kolak Mal, sengaja aku buatkan untuk keluargamu.., hehe,” jawab Chaterinne sambil menyerahkan masakan hasil karyanya kepadaku.
“Sepertinya enak nih.. Aku jadi tidak sabar menunggu adzan Maghrib.. Ayo masuk Chaterinne, ada ibu, ayah dan Aqilla di dalam,” kataku kepada Chaterinne.
Waktu berbuka puasa – pun hampir tiba, Ibu dan Aqilla menyiapkan bahan masakan untuk buka nanti. Kami tertawa jika melihat Chaterinne salah mencampur bahan makanan yang seharusnya dicampur, tetapi malah tidak dicampur. Misalnya, mencampurkan adonan tempe kemul dengan donat kentang makanan khas kampung kami. Dia tidak tahu jika di adonan tempe seharusnya dikasih bumbu rempah – rempah, seperti bumbu kunir supaya tambah lezat dan juga ditambah daun kucai supaya baunya harum, tapi dia tidak tahu. Lalu ibu memberitahu Chaterinee cara pembuatannya, yang mana ini menjadi makanan favorit di keluarga kami ayah dan aku jagonya kalau disuruh menghabiskan makanan favorit, tempe kemul ini.
Chaterinne – pun tertawa dengan ibu dan Aqilla. Aku pandang dari balik jendela ruang depan samping pintu masuk ruang dapur, tiga wanita yang kucintai, kusayangi dan kuhormati mereka adalah wanita yang luar biasa sabar penyayang dan sekaligus jadi rumah untuk aku pulang selalu menjadi inspirasi dalam hidupku walaupun wanita yang satu ini masih menjadi tanda tanya, tetapi selalu kuusahakan dan kuupayakan apakah dia nantinya akan jadi seorang pendamping hidupku atau hanya sebatas sampai disini saja ketika kami belum berpisah dan pertanyaan itu selalu memenuhi benakku.
Tak henti – hentinya ku pandangi tiga wanita cantik itu, sampai aku tak tahu kalau ayah masuk ke dalam rumah mengucapkan salam berkali – kali.
“Mal, Kemal mikirin apa sih kamu dari tadi melamum, sampai salam ayah berkali – kali tidak dijawab?” kata ayah yang mengagetkan lamunanku.
“Astagfirullah Yah, maaf yaa… Kemal tidak mendengar salam ayah. Ayah sudah lama dibelakang Kemal?” jawabku agak terbata – bata.
“Sudah, saat kamu sibuk memandangi mereka bertiga. Kamu mikirin apa sih? Ayah tau nih apa yang sedang kamu pikirkan,” jawab ayah sambil mencari – cari jawaban.
“Ahh…. Ayah ini, sudah ah aku mau sholat Ashar dulu,” jawabku memudarkan pembicaraan sambil menuju ke belakang untuk wudhu dan mereka bertiga masih saja asik mengobrol di ruang dapur.
Kita berempat menunggu adzan maghrib untuk berbuka puasa bersama. Chaterinne yang saat ini ikut berbuka puasa bersama keluargaku terlihat sangat senang. Dia banyak sekali bertanya tentang apapun ibu, ayah dan kepadaku. Itu yang membuat ibuku semakin sayang kepada Chaterinne.
Adzan Maghrib – pun akhirnya berkumandang.
“Alhamdulillah, buka puasa kali ini lengkap, terimakasih ya Allah,” gurau Aqilla kepada kami yang membuat kami semua tersipu malu saling pandang.
“Sudah ah, kamu ini merayu mereka berdua.. Ayo Nak dimakan,” jawab ibu sambil menyuguhkan lauk pauk ke arah Aqilla.
Kamipun makan bersama dengan menu masakan buatan Chaterinne yang sangat lezat. Kami sangat menikmati waktu ini dan ayah sangat memuji makanan yang dibuat oleh Chaterinne, akhirnya hati ayah terbuka juga kepada Chaterinne, rasanya aku senang dan lega jika melihat suasana dan moment yang seperti ini. Terasa Chaterinne sudah menjadi pendamping hidupku dan menjadi keluarga besar kami.
Waktu – pun tak terasa sudah menunjukkan pukul 18.30, acara berbuka puasa – pun kami selesaikan karena harus bersiap – siap untuk sholat Maghrib dan lanjut sholat Isya’ dan Tarawih bersama. Setelah selesai shlat Maghrib berjamaah dirumah, Aku kemudian mengantarkan Chaterinee pulang ke rumah Aisyah untuk bersiap sholat Tarawih berjamaah di masjid.
“Chaterinne, aku antarkan sampai depan ya, aku titip salam untuk Aisyah dan dan ayah Aisyah,” kataku kepada Chaterinne sambil bergegas pulang ke rumah lagi karena ternyata kopyahku ketinggalan di rumah.
“Kamu tidak mau masuk dulu Mal?” jawab Chaterinne sambil mengajak aku untuk masuk ke rumah Aisyah.
“Aku harus pulang ke rumah dulu, soalnya kopyahku ternyata malah ketinggalan di rumah,” jawabku sambil bergegas pulang karena sudah mendekati waktu sholat Isya’.
“Mmmm.. Yaudah nanti insyaAllah saya sampaikan salam kamu Mal. Terimakasih ya saya sangat bahagia sekali dikelilingi orang – orang baik sepertimu dan keluargamu. Hari ini saya sangat bahagia Mal, terimakasih telah mengembalikan senyum saya ini,” jawab Chaterinne dengan senyuman khasnya.
Perkataan Chaterinne membuatku semakin ingin lekat dan selalu dekat dengangnya. Semakin aku menyayanginya dan semakin sulit pula aku merelakannya untuk pergi.
Keesokan harinya, aku melakukan aktifitas membersihkan masjid dan pergi ke lading. Tiba – tiba Aisyah datang menemuiku yang saat itu aku sedang menyapu di teras depan masjid.
“Mal, Kemal,” kata Aisyah dengan terburu – buru memanggilku dari kejauhan.
“Ada apa si Aish.? Ya ampun lari – lari begitu, kaya penting banget,” jawabku sambil meletakkan sapu di tembok.
“Begini Kemal, eh bentar aku lelah sekali lari – larian, biar aku menghela nafas sebentar dulu. Huuuuuuuuuu haaaaaaaaaaaaa…… Mal, aku buru – buru memberitahumu kalau hari ini Chaterinne sudah mulai bersiap – siap untuk pulang ke rumahnya,” kata Aisyah dengan raut wajah sedih.
“Haaa?? Yang benar saja, bukannya dia akan kembali setelah lebarankan Aish? Ada apa ini kenapa dia tidak bicara denganku terlebih dahulu, kenapa mendadak seperti ini? Apa ada masalah?” tanyaku kepada Chaterinne dengan hati cemas.
“Iya Mal, begini ceritanya, ibunya dia sakit disana sedangkan adiknya tidak bisa merawat ibunya sendirian jadi mendadak dia harus segera pulang, takut kalau sampai terjadi hal – hal yang tidak diinginkan Mal. Rencananya besok sore dia pulang nanti kamu temuin dia yaa Mal,” jawab Aisyah sambil meneduhkan hatiku yang cemas.
“Kenapa harus seperti ini sih?” jawabku dengan rasa sedih yang belum siap harus melepaskan Chaterinne pulang ke negara asalnya.
“Mal, tidak apa-apa aku tahu perasaanmu seperti apa, tapi ini yang terjadi sekarang, harus kamu jalani, mungkin kamu masih berat melepaskan dia tapi sudah jangan bersedih. Serahkan semua kepada Allah. Ya sudah aku pulang dulu ya aku mau membantu Chaterinne membereskan barang – barang bawaannya,” jawab Aisyah yang sambil menepuk pundakku dan kemudian berlalu.
Lalu aku pulang ke rumah dengan perasaan yang sangat kacau, karena aku belum siap jika Chaterinne pulang ke negara asalnya.
Sesampainya di rumah, ku ceritakan semuanya kepada ayah dan ibu tentang kepulangan Chaterinne besok yang mendadak itu.
“Nak, sudahlah tidak apa – apa, dia juga punya tanggung jawab disana yang harus dipenuhi dan dia juga masih mempunyai ibu yang harus dia urus. Sudah, sudah, ibu tau perasaanmu sedih tapi bagaimana lagi dia kan memang warga negara sana dan juga dia harus pulang, tidak mungkin kalau harus terus menetap disini, vissanya kan juga segera berakhir,” kata ibu meneduhkan hati dan jiwaku.
“… betul itu Nak kata ibumu, sudah dari awal kan ayah nasehati kamu dan akhirnya juga kamu harus melepaskan Chaterinne pulang ke negara asalnya. Kamu juga disini masih menyelesaikan kuliahmu,” tambah ayah yang mengingatkan perkataan peringatannya kembali kepadaku.
Aku melihat Aqilla yang kelihatannya dia juga merasakan hal yang sama sepertiku, sedih dan cemas.
“Apa bener secepat itu dia pulang kak?” tanya Aqilla yang agak kurang percaya.
“Sudah sayang, dia kan memang harus pulang menemui keluarganya dan mengurus tanggung jawabnya disana, Kemal, segera bersiap dan temui Chaterinne,” jawab ibu meneduhkan.
Aku – pun bergegas menuju rumah Aish untuk menemui Chaterinne. Dengan kecepatan cepat ku kendarai motor. Sesampainya di rumah Aisyah, aku melihat sosok wanita dari kejauhan berjalan keluar rumah dan menujuku dan ternyata dia adalah Chaterinne. Dari jauh aku melihatnya dengan penuh rasa sedih dan ku pandangi wajahnya, ada perasaan yang mengganjal pada Chaterinne.
“Mal, kamu akhirnya dating juga, aku sudah menunggumu dari tadi,” sapanya kepadaku.
“Aku ingin mengajakmu bicara, ikut denganku sebentar saja,” jawabku sambil menggandeng tangan Chaterinne ke suatu tempat yang belum pernah ku tunjukkan padanya selama berada di kampungku.
“Tempat apa ini sangat indah Mal, kenapa baru saja kamu ajak aku kesini kenapa tidak dari kemarin?” kata Chaterinne kagum melihat hamparan padang savana yang luas dan penuh dengan bunga – bunga.
“Chaterinne, lihatlah hamparan padang savana ini begitu indah kan? Aku baru mengajakmu sekali kesini karena aku ingin ini jadi tempat terindah untuk kita berdua. Chaterinne hatiku saat ini gundah gulana seperti hamparan ilalang ini jika tanpamu, aku belum siap apabila kau tinggalkan aku sendiri disini. Rasanya sangat sulit untuk melepasmu pulang, aku sayang padamu, aku nyaman kau berada dekat disampingku Chaterinne. Kenapa kamu tidak ingin lebih lama lagi tinggal disini bersamaku, kenapa secepat itu untuk kamu kembali kesana?” tanyaku penuh makna kepada Chaterinne.
“Mal, lihatlah mataku, sejauh apapun aku pergi sejauh apapun kita berpisah, hatiku tetap ada padamu Mal. Sudah aku tujukkan padamu Mal. Ibuku sakit dan aku harus segera pulang, kamu tau Mal, Beliau adalah satu – satunya orang yang kumiliki disana, aku harus merawatnya karena aku tidak ingin kehilangannya Mal. Sama halnya seperti dirimu Mal, percayalah padaku jika kita benar – benar yakin kalau kita berjodoh sejauh apapun jarak memisahkan, kita pasti akan tetap dipersatukan, sungguh Allah Maha Kuasa dengan segala kehendak – Nya Mal, percayalah,” jawab Chaterinne sambil menatapku dan menyakinkanku. Dan tak terasa dia meneteskan air matanya.
Saat itulah aku mengerti perasaannya yang saat ini sama halnya sepertiku. Mungkin dia yang lebih sedih karena perginya dia mengurus ibunya yang sedah sakit disana.
“Chaterinne, aku ingin kau kembali lagi, aku sangat menyayangimu, aku ingin kau terus bersamaku, tolonglah Chaterinne,” jawabku meminta.
“Mal, aku tidak tahu nantinya apakah aku akan kembali lagi atau tidak. Tetapi satu hal yang perlu kamu ingat Mal, bahwa hatimu ku bawa bersamaku dimanapun aku berada, kalau nanti aku kembali kau akan mengajakku kembali lagi kesini kan Mal? Kau harus mengajakku kesini lagi karena aku suka dengan tempat ini,” jawab Chaterinne sambil mengecup pipiku dan bersiap untuk pergi.
Saat saat itulah yang menjadi perjumpaan terakhir kami. Keesokan harinya aku dan Aisyah mengantarkannya ke bandara dan sebelum itu dia mendatangi rumahku dan berpamitan dengan kedua orangtua. Warga sekitarpun ikut sedih dengan kepulangan Chaterinne ke negara asalnya.
Penulis: Adisty Nur Andini/LPM SQ