(Ilustrasi: https://pixabay.com)

10 Maret 1965, situasi sore hari di negeri singa mendadak kelam. Bom meledak di dalam Gedung MacDonald House, Orchard, Singapura. Ledakan kuat itu mengguncang gedung, mengoyak dinding dan tangga, serta meruntuhkan pilar bangunan. Bahkan, semua mobil yang terparkir di halaman gedung itu juga rusak. Pun demikian dengan Kantor Komisi Tinggi Australia (Australian High Commission).

“Berdasarkan pemeriksaan terhadap bangunan yang hancur, bom diketahui merupakan bahan peledak nitrogliserin dengan bobot sekitar 9-10 kilogram.”


Saat kejadian, ratusan karyawan The Hongkong and Shanghai Bank, juga nasabah sedang sibuk bertransaksi. Akibat dari kejadian ini, 3 orang tewas dan 33 lainnya terluka. 2 korban tewas diantaranya seorang sekretaris bank bernama Elizabeth Choo dan asistennya, Juliet Goh. 

Seorang wanita berkalungkan ID card khas jurnalis membaca lembaran surat kabar yang telah bernoda dan menguning. Surat kabar keluaran 1960an itu menyesaki meja bersama secangkir kopi dan sepiring kudapan. 

Meisya masih ingat betul kalimat yang dikatakan seniornya, 


“Sebagai tugas pertamamu magang disini, carilah surat kabar keluaran 1965 tentang pengeboman Gedung di Singapura! Kalau sampai gagal atau mencoba memalsukan, kamu tidak akan menjadi jurnalis selamanya!”.


Karena itu, Meisya mengerahkan seluruh tenaga untuk berburu surat kabar yang sudah buluk di berbagai kantor arsip dan perpustakaan. Dua minggu terakhir ia sama sekali tak pernah ke kafe atau ke mall untuk sekedar menghilangkan penat. Yang ia lakukan hanyalah bertemu penjaga perpustakaan, memeriksa rak, dan mencari surat kabar itu. Alhasil, ia berhasil menemukan dua surat kabar yang kini ia biarkan berserakan di atas meja.


“Halo! Iya mbak. Saya segera ke kantor. Saya sudah menemukan surat kabarnya!”.


Meisya memasukkan telepon genggam ke dalam saku kemejanya. Ia mengemasi barang-barangnya dan bergegas pergi meninggalkan meja kafe. Satu langkah dua langkah dan ia sampai tepat di jalur penyeberangan. Meisya melangkahkan kakinya namun tiba-tiba sesuatu menabraknya hingga ia terpental jauh sampai ke tengah jalan raya. Ia merasakan nyeri di kepala dan keluar darah dari hidungnya. Pandangannya kabur dan  lama-kelamaan semuanya menjadi gelap seutuhnya.


***


Ia mengayuh sepedanya di tengah jalan di pinggiran kota Jakarta. Perlahan sepedanya mulai menepi. Tepat di depan sebuah kedai kopi ia benar-benar berhenti. Nampak plang nama alakadarnya bertuliskan Kedai Kopi Soerato. Pria berseragam hijau loreng itu, menuju kedai yang entah mengapa sore ini lebih ramai dari biasanya. Orang-orang mengurumuni kedai sampai membludak sampai ke pinggir jalan.


“Selamat sore, Tuan Janatin.” 


Seseorang yang menyadari kehadirannya membungkuk penuh hormat. Ia balas tersenyum.


“Apa yang terjadi?”


Puteri pemilik kedai tertabrak bemo.”


Janatin mengurungkan niatnya dan berlalu pergi meninggalkan kedai.


***


Ia kembali menyambang. Dengan penampakan yang sama seperti biasanya. Ia memarkirkan sepeda ontelnya tepat di samping kedai.


“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”


Selalu begini. Setiap Janatin datang dan baru saja turun dari sepedanya, seorang suruhan Pak Surato tergesa datang melayaninya. Kali ini seorang gadis cantik mengenakan terusan bermotif bunga-bunga dengan gelungan di rambut yang datang mendekat.


“Bukankah kau yang kemarin tertabrak bemo?” tanya Janatin. Sang gadis tak menyahut. Hanya pipi yang bersemu merah yang menjawabnya. Ia tertunduk malu.


“Apakah tidak apa-apa jika kau yang melayaniku?”


“Tenanglah Tuan. Saya akan bersungguh-sungguh,” balasnya antusias.


Janatin memperhatikannya. Ada yang berbeda 

dengan gadis ini. Biasanya ia hanya mengintip para pelanggan dari balik pintu kayu yang menghubungkan kedai dengan rumahnya. Saat disapa, ia tak menjawab dan bahkan langsung menutup pintunya. Gadis yang Janatin kenal sebagai Reka, si puteri pemilik kedai yang tak pernah tersenyum, nampak ceria dengan bandana yang melingkari sebagian rambutnya.

“Mari Tuan. Akan saya bawakan minuman kesukaan Tuan.”


***


Aku membuka mataku perlahan. Banyak orang mengerumuniku. Semuanya nampak sama dengan ekspresi khawatir mereka. Saat aku benar-benar bangun, semuanya melongo tak percaya. Aku seperti orang yang mati dan tiba-tiba hidup kembali. Tak lama seorang wanita paruh baya mendekat lalu merangkulku. Ia berkali-kali mencium keningku. Aku sadar dan aku tahu persis dia bukan ibuku. 


Tunggu. Apa mereka sedang memerankan sebuah teater? Atau aku berada di pameran baju era 90an? Mengapa semua orang memakai baju terusan dan yang lainnya mengenakan atasan safari? Apa yang terjadi padaku? Siapakah mereka? Dimanakah ayah dan ibuku?


“Apa Nak Reka baik-baik saja?” seseorang yang juga tak kuketahui mendekatiku.


Tapi siapakah yang mereka maksud Reka? Sejak aku bangun, semua orang tak pernah berhenti membicarakan si Reka. Apakah mereka kira aku adalah tokoh yang memerankan Reka? Ini aneh. Aku tak pernah ikut klub teater sebelumnya.


“Reka. Minumlah ramuan yang bibimu buatkan. Kau akan segera pulih.” Wanita yang sedari tadi duduk di sampingku memintaku untuk meminum ramuan yang menurutnya sangat mujarab.


Teater macam apa yang menampilkan tokoh utama sakit-sakitan dan harus meminum ramuan di tengah-tengah kerumunan begini. Rusak sudah dunia hiburan tanah air. Apakah tidak ada yang lebih bermutu? Aku harus segera menjadi jurnalis dan memperbaiki ini!


***


“Ini memang tahun 1965! Aku benar-benar melompati waktu! Gila!”


“Reka! Sambutlah Tuan Janatin! Dia akan segera datang.”


“Tuan Janatin? Siapa lagi Tuan Janatin,” gumamnya. 


“Iya Pak! Reka segera keluar!”


Ia menggelung rambutnya dan memakaikan bandana merah di kepala. Reka sudah siap menemui tamu istimewa bapaknya. Tapi dimanakah keberadaannya. Reka memanjangkan leher mencari-cari seorang pria berseragam tentara. Dan ia temukan pria itu di tengah halaman rumahnya bersama sederet sepeda yang terparkir rapi disana.


“Ada yang bisa saya bantu?”


Reka dan sang tamu menuju bangku kayu yang bersebelahan dengan lubang berbentuk persegi yang biasa orang sebut jendela. Setelah Reka pastikan sang tamu duduk, ia lalu ke dapur untuk mengambilkan secangkir kopi hitam dan sepiring kudapan ringan. Reka mendudukkan dirinya di sebelah Janatin.


“Tuan, apa kau bertugas membebaskan para sandera?” Tanya Reka polos. 


Janatin melingkarkan senyuman. Ia lalu menggeleng.


“Dimanakah rumahmu? Apakah kau tinggal di asrama? Bagaimana dengan teman-temanmu? Apa mereka juga melepaskan sandera bersamamu?”


Janatin mengerutkan dahi. Satu pertanyaan belum terjawab, sudah muncul pertanyaan lain. Sungguh gadis ini.


“Reka! Apa yang kau lakukan? Kembalilah ke dapur!” suara bariton laki-laki terdengar. 


Memaksa Reka untuk menghentikan rasa ingin tahunya dan segera kembali ke belakang.


“Mohon maaf Tuan. Sejak kemarin Reka jadi seperti itu. Mungkin akibat dari kecelakaan yang menimpanya tempo hari.”


“Tidak apa Pak Surato. Dia terlihat cerdas. Dia cocok menjadi seorang jurnalis. Suruh dia bekerja di surat kabar,” balas Janatin ringan


***


Reka telah siap menyambut tamu yang rutin datang setiap petang di kedai bapaknya. Kali ini ia mengenakan rok wiron  selutut dan atasan blouse tipis dengan warna senada. Sejak kecelakaan yang menimpanya, ia menjadi Reka yang senang bersolek. Dimanapun dan kapanpun, ia selalu ingin terlihat cantik.

Seperti hari sebelumnya, Reka menunggu Tuan tentara di halaman depan. Tak lama, sebuah sepeda menepi dan menuju patok kayu yang digunakan sebagai tanda tempat parkir sepeda. Reka mendekatinya. Ia membungkuk takdzim.

“Mari tuan.” Reka menuntunnya menuju bangku yang sama seperti hari sebelumnya.


“Tuan. Mengapa kau tak mengenakan baju lorengmu?” 


Janatin hanya membalasnya dengan segaris senyuman.


“Ah. Jangan-jangan kau sedang melakukan tugas khusus? Apa kau sedang mencari seseorang? Disinikah orang itu?”


Janatin menautkan alis. Pemikiran wanita muda ini memang luar biasa. Sangat kritis.

Selama setengah jam, Reka yang bagaikan wartawan menyampaikan puluhan pertanyaannya. Sedangkan Janatin hanya membalasnya dengan senyum simpulnya. Sesekali ia menjawabnya singkat.

***


Waktu berlalu begitu cepat. Tiga minggu sudah sejak Reka mengalami kecelakaan itu. Selama tiga minggu ini, ia hanya berdiam di kamar dan keluar kamar saat petang untuk menyambut sang prajurit perang. Kini, menunggu menjadi hobi barunya. Setelah pengaturan jadwal yang cukup rumit, jadilah minggu ini sebagai hari kencan mereka yang pertama.


Janatin membawa gadisnya untuk berkencan di pangkalan militer. Reka yang bagaikan beo tak akan pernah merasa puas atas jawaban yang Janatin katakan. Jadi Janatin mengajaknya kemari.


“Oooh ini gadis yang tempo hari Janatin ceritakan.” Seorang pria berperawakan tinggi tegap menghampiri mereka. Ia mengenakan baju lapangan alakadarnya.


Reka tersipu. Seorang Janatin, mungkinkah Janatin benar-benar menceritakan tentang dirinya kepada semua orang disini? 


“Namaku Harun  Said. Kau bisa memanggilku Said kalau kau mau.” Pria tadi kembali berucap. Kali ini ia melemparkan jurus senyuman menggodanya.


“Dia rekan kerjaku. Panggil saja Harun,” Janatin menyahut. Tak terima wanitanya digoda oleh kawannya.


Mereka berbincang tentang ini dan itu. Reka sangat nyambung mengobrol dengan mereka. Bagaimanapun, ia adalah lulusan Fakultas Komunikasi dan Informasi. Jadi apapun yang mereka bicarakan, Reka paham maksudnya. Tanpa terasa hari sudah petang. Sesuai janjinya, Janatin akan mengantarkan Reka pulang ke rumahnya. Dan janji Reka adalah membuatkan kopi setelah mereka sampai di kedai.


“Harun! Janat! Kalian dipanggil untuk menghadap!” mereka telah sampai di gerbang dan seseorang menghentikan mereka. Harun dan Janatin saling bertukar pandang.


Janatin berdekhem canggung. 


“Reka. Maafkan aku. Mungkin aku tak bisa mengantarkanmu pulang sekarang.”


Reka tak bisa menutupi rasa kecewanya. 


“Lalu bagaimana dengan janji kopi hitamku?”


“Tenanglah. Aku akan datang besok petang seperti biasanya.” 


Janatin menenangkan Reka kemudian mengelus puncak rambutnya. 


“Aku akan meminta kawanku untuk mengantarkanmu.”


***


“Seperti yang kita semua tahu. Inggris sedang gencar-gencarnya ingin menguasai seluruh wilayah kita. Dengan permainan bonekanya, mereka mungkin akan bisa merebut kembali kemerdekaan kita.”


“Baik Singapura, Sabah maupun Malaya, tak satupun diantara mereka yang menyadari bahwa mereka adalah alat bagi Inggris untuk kembali bangkit.”


“Gedung MacDonald, hancurkan gedung itu.”


“Jika kita biarkan gedung itu tetap berdiri kokoh, maka sama saja kita membiarkan kolonialisme kembali dan kemerdekaan kita akan terebut.”


“Oleh karena itu, saya menugaskan Usman dan rekannya, sebagai Prajurit Korps Komando Operasi untuk menyiapkan penghancuran gedung itu!”


Perintah telah dititahkan dan yang bisa dilakukan hanyalah mengikuti apa maunya.

10 Maret kami tiba di Singapura. Tak ada yang menyadari jika kami adalah seorang prajurit. Kami kesana kemari dengan bebasnya tanpa khawatir dicurigai. Aku menggendong tasku. Tas tipis dari bahan kanvas bertuliskan ‘Malayan Airways’. 

Kami memasuki area gedung. Tepat pukul tiga kami meninggalkan gedung. Tak ada lagi sebuah tas dibahuku. Tas yang memang sengaja kami biarkan berdiam di sudut gedung MacDonald.

Hanya membutuhkan waktu setengah hari dan kami telah berhasil meyelamatkan tanah air tercinta. Kami meninggalkan Singapura untuk kembali pulang ke Indonesia. 

Alam tak memihak pada kami. Speedboat yang kami tumpangi tiba-tiba diam tak bergeming. Detik berikutnya, sejumlah kapal telah mengepung dan kami digelandang kembali menuju Singapura.


***


Sudah tiga bulan sejak Reka berpisah dengan Janatin di gerbang pangkalan militer petang itu. Sampai kini, ia tak pernah lagi terlihat. Setiap senja, Reka bersama secangkir kopi hitam di bangku dekat jendela ia menunggu sang prajurit. Hari- hari berlalu. Janatin tak kunjung datang. Mungkin panggilan untuknya kala itu adalah panggilan untuk ia menikahi seorang gadis lain. Entahlah.


Seperti biasa Reka terduduk lesu memandangi kopi hitam di depannya. Kedai sangat ramai petang ini. Namun bagi Reka, seramai apapun, ia tetap merasa sendiri jika Janatin tak ada bersamanya. 


Orang-orang sibuk saling menunjukkan berita di surat kabar yang mereka temukan. Desas desus terdengar disana sini.

Dua WNI terduga teroris ditangkap pemerintah Singapura

Begitulah kira-kira bunyi puluhan judul surat kabar keluaran hari ini.

***


Satu tahun telah berlalu. Yang kulakukan selama 9 bulan terakhir hanyalah berharap dapat menepati janji membuatkan secangkir kopi untuk prajuritku. Aku sangat senang berada di sisinya. Ketika kami berjalan di tengah keramaian, aku merasa sangat bangga bisa menggandeng seorang berseragam tentara. Aku sangat bahagia saat kencan pertama dan mungkin akan menjadi yang terakhir bagi kami.


Tuan, aku sungguh mrindukanmu. Aku ingin kau menepati janjimu dan akupun akan membayarnya dengan kopi hitam kesenanganmu. Kemarilah. Aku ingin melihatmu memarkirkan sepedamu di halaman rumahku. Aku ingin melihatmu tersenyum kalamana aku menanyaimu jutaan pertanyaan. Janatin kembalilah. Aku ingin melayanimu di akhir senjaku. Membawakan kopi dan menemanimu di dekat jendela ini. Kau bahkan belum selesai mengenalkan semua kawanmu padaku.


17 Oktober aku membaca sebuah surat kabar yang membuatku bergidik. ‘Usman-Harun dijatuhi hukuman gantung atas pengeboman yang mereka lakukan di Singapura’. Siapa sangka Usman yang dimaksud adalah dirimu? Aku benar-benar hancur. Di setiap senja aku hanya menunggu kematianmu? Yang benar saja.


Tuan Janatin, setidaknya mari kita penuhi janji masing-masing sebelum kau benar-benar memutuskan untuk tak bertemu denganku lagi selamanya.


Tuan, kau bukanlah Usman sang teroris. Apapun yang terjadi kau tetaplah Janatin sang prajurit bumi ini. Aku bersamamu Tuan. Aku akan selalu berada di pihakmu. Apapun yang terjadi.


***


“Meisya! Meisya! Kamu sadar! Ya ampun sayang. Mama sangat merindukanmu.”


Pelukan hangat sama seperti pelukan wanita tua itu. Kecupan di kening yang juga sama. Apakah pertemuanku dengan prajuritku juga akan sama.

Tuan Janatin, aku merindukanmu.. 

Penulis: Syalma Arafah/SQ

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *