Ilustrasi: javatravel.com
SQPers – Hari ini, 24 Juli 2020, Kabupaten Wonosobo berulang tahun ke-195. Walaupun masih dalam situasi bencana non alam akibat serangan virus corona, namun peringatan Hari Jadi tetap dilaksanakan. Memang tidak sesemarak peringatan tahun-tahun sebelumnya. Maklum, dalam kondisi covid-19 ini, semua kegiatan dilakukan secara terbatas. Baik dari sisi jumlah kegiatan, jumlah peserta, dan lainnya. Juga jumlah anggarannya.
Peringatan hari jadi Kabupaten Wonosobo ini, mengambil momunten sejarah kemenangan pasukan pribumi yang dipimpin Setjonegoro melawan pasukan penjajah Belanda. Perang ini merupakan bagian dari Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegero (1825-1830). Pada Perang Jawa yang membuat penjajah Belanda bangkrut ini, banyak tokoh Wonosobo yang terlibat, di antaranya Imam Misbach (Tumenggung Kertosinuwun), Mas Lurah (Tumenggung Mangkunegaraan), Gajah Permodo dan Kiai Muhamad Ngarpah (Setjonegoro). Peristiwa tersebut terjadi di daerah Legorok (perbatasan Wonosobo-Magelang), pada 24 Juli 1825.
Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai hari Jadi Wonosobo, berdasarkan hasil seminar yang diprakarsai Pemkab dan salah satu perguruan tinggi (Jogjakarta) pada 18 April 1994. Seminar dihadiri Muspida, sesepuh Wonosobo, DPRD dan Instansi Pemerintah Wonosobo.
Seiring perkembangan waktu dan ditemukannya banyak referensi kuno, penentuan hari jadi yang mengambil momentum kemenangan Setjonegoro itu mulai dipertanyakan berbagai kalangan. Setidaknya ada 2 hal pokok. Pertama, hasil kajian (naskah akademik) yang dibuat Perguruan Tinggi yang menjadi dasar penetapan hari jadi beberapa kabupaten mulai dipertanyakan kesohehannya. Ada beberapa kabupaten yang telah merevisi dan menentukan hari jadi yang berbeda dengan hasil kajian perguruan tinggi tersebut. Salah satunya yang terdekat adalah, Kabupaten Purworejo.
Kedua, dengan ditetapkannya hari kelahiran Kabupaten Wonosobo pada 24 Juli 1825, berarti sebelum masa itu Wonosobo dianggap belum lahir atau belum ada. Wilayah Wonosobo belum menjadi daerah administratif yang memiliki wilayah dan wewenang sendiri. Masih bersifat komunal, tanpa sistem pemerintahan. Itu artinya kabupaten ÿang menyebut dirinya sebagai “Soul Of Java” ini baru lahir tahun 1825 atau baru berumur 195 tahun.
Sejarah Awal Wonosobo
Padahal kalau kita membuka kitab tua Paramayoga, keberadaan wilayah ini sudah mulai tercatat sejak kedatangan Shang Hyang Jagatna ke tanah Dieng pada tahun 18 Masehi. Dalam buku karya Ronggowarsito itu, disebutkan tokoh penyebar Hindu tersebut cukup lama tinggal di wilayah Dieng.
Dalam referensi yang sama, pasca kedatangan Sang Hyang Jagatnata, wilayah Dieng didatangi lagi rombongan yang lebih besar yang dipimpin oleh Rsi Markendiya pada abad 2 Masehi. Rsi Markendiya merupakan keturunan Rsi Bregu, penyebar Hindu terpenting di India. Setelah berinterkasi dengan masyarakat sekitar Dieng, beliau mendirikan Dharmasala, semacam lembaga pendidikan tingkat tinggi. Banyak orang menjadi cantrik, berguru di lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang agama, moralitas, kebudayaan, tata pemerintahan, tata cara pertanian dan olah kanuragan itu. Para alumni perguruan tinggi Dharmasala inilah yang nantinya menjadi pendakwah agama Hindu. Mereka mendirikan pesantrian (lembaga pendidikan kelas dasar-menengah) lengkap dengan sanggarnya (tempat belajar dan beribadah). Kelak konsepsi pesantrian dan sanggar, tetap digunakan oleh Wali Sanga dalam menyebarkan Islam, sehingga istilah itu lestari hingga saat ini menjadi pondok pesantren dan langgar.
Selain memunculkan alumni para pendakwah agama, Dharmasala juga sangat berjasa mendidik kaum bangsawan. Keturunan para ningrat inilah yang kelak akan mendirikan sistem pemerintahan Raka. Sehingga dalam pelajaran sejarah di sekolahan, kita mengenal beberapa nama Raka yang disandingkan dengan nama-nama tempat yang hingga kini masih kita kenal. Sebagian nama-nama itu kini masuk wilayah administratif Kabupaten Wonosobo, seperti Raka-i Garung dan Raka-i Watuhumalang. Juga ada nama Raka lain seperti Raka-i Pikatan (Temanggung), Raka-i Panangkaran (Banjarnegara), Raka-i Dyah Balitung (Purworejo). Raka adalah sebutan pemimpin negara, sedangkan –i menunjukan tempat. Jadi kalau ada tokoh Raka-I Garung, berarti pemimpin yang bertahta di wilayah Garung. Sistem pemerintahan Raka ini agak berbeda dengan sistem kerajaan.
Setelah cukup lama menjadi tokoh sentral di Dieng, Rsi Markendiya pindah ke gunung Rau (Jawa Timur). Selanjutnya beliau pindah ke Bali. Di Pulau para dewata ini, Rsi Markendiya sangat berjasa dalam membentuk sistem sosial kemasyarakatan yang lestari hingga saat ini. Diantaranya Rsi Markediya merinstis sistem kemasyarakatan Besakih berbasis agama Hindu Dharma. Jasa Rsi Markendiya ini diabadikan dalam bentuk Pura Besakih, tempat ibadah yang diyakini menjadi tempat pertama Rsi Markediya menerima Wahyu dari Tuhan. Rsi Markediya juga berjasa dalam merintis sistem pertanian subak, yang masih lestari hingga saat ini.
Perjalanan sejarah Rsi Markendiya inilah yang membuat orang (suku) Bali yang mayoritas beragama Hindu menisbatkan diri sebagai keturunan orang Dieng. Karenanya beberapa kali Pemprov Bali ingin bekerjasama dengan pemkab Wonosobo mengembangkan Dieng. Namun upaya itu belum berhasil sampai saat ini.
Sejarah Wonosobo di era kuno ini terus berkembang walaupun ditinggal Rsi Markendiya ke Bali. Peradaban Wonosobo (Jawa bagian tengah) mulai redup ketika raja terakhir Wangsa Isana bernama Mpu Sendok (Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa) memindahkan kerajaannya ke Jawa Timur pada 929 Masehi. Mpu Sendok selanjutnya mendirikan dan menjadi raja pertama kerajaan Medang (era Jawa timur). Kerajaan inilah yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya berbagai kerajaan di Jawa Timur, seperti Daha, Singgosari, Jenggala, Kediri dan Majapahit.
Setelah era peradaban Jawa Timur berakhir, peradaban kembali pindah ke Jawa Tengah. Perpindahan pusat peradaban Jawa itu ditandai dengan runtuhnya Majaphit pada 1487 masehi dan berdirinya Kerajaan Demak pada 1500 Masehi. Pada era Kerajaan Demak inilah, nama Wonosobo kembali disembut-sebut dalam sejarah. Terutama dikaitkan dengan tokoh yang bernama Ki Ageng Wonosobo.
Ki Ageng Wonosobo
Dalam Serat Wali Sana, disebutkan Ki Ageng Wonosobo merupakan putra tertua dari ki Bondan Kejawen. Bondan Kejawen merupakan anak hasil perkawinan Brawijaya V (raja terakhir Majapahit) dengan budak dari wilayah Wandan (Sulawesi) yang berkulit kuning, sehingga diberi nama Wandan Kuning. Karena anak dari hasil pernikahan dengan budak, Brawijaya V malu. Ia menitipkan Bondan Kejawen yang baru lahir kepada pembantunya yang bertugas mengelola sawah di wilayah Tarub, yang bernama Ki Ageng Tarub. Tokoh dari Tarub inilah yang diceritakan dalam mitos Joko Tarub yang menikahi bidadari Nawangwulan.
Dalam versi lain, Dr Purwadi M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (LOKANTARA), menyebut Wandan Kuning, bukanlah budak dari Sulawesi. Tetapi putri Prabu Siliwangi (Pajajaran) dengan istrinya yang masih memiliki nasab sayidah (keturunan Nabi Muhamad-red).
Dalam referensi tua lainnya, seperti Tarikh Auliya dan Serat Wali Sangha, disebutkan Ki Bondan Kejawen memiliki tiga anak yakni Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendawa dan Nyi Ageng Ngerang. Anak turun tiga bersaudara ini menjadi tokoh sentral dalam sejarah kerajaan Demak Bintara, Pajang, dan Mataram. Keturunan Ki Ageng Wonosobo yang menonjol adalah Ki Ageng Juru Martani. Keturunan Ki Ageng Getas Pendawa diperankan oleh Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Ki Ageng Pemanahan. Sedangkan Ki Ageng Ngerang diwakili oleh Ki Ageng Penjawi. Tokoh-tokoh itu namanya harum dalam silsilah Kerajaan Jawa.
Dr. Purwadi M.Hum menyebut, Ki Ageng Wonosobo memiliki nama asli Ngabdullah Al Akbar. Beliau tekun belajar, rajin tirakat. Suka menjalankan laku prihatin, lara lapa tapa brata. Setiap malam Senin Wage selalu tapa kungkum dan tapa ngeli di Sungai Lusi Purwodadi. Kadang-kadang anelasak wanawasa, tumurun ing jurang terbis di Gunung Kendheng Pati. Sekali tempo bertapa di Gunung Danaraja pada tahun 1485. Berkat lelakunya itu Ki Ageng Wonosobo atau Syekh Ngabdullah Al Akbar menjadi priyagung yang sakti mandraguna. Ditombak mendat, jinara menter.
Setelah berguru cukup lama dengan Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga, Ki Ageng Wonosobo dinikahkan dengan Dyah Plobowangi, putri Demang Selomerto. Kediaman Dyah Plobowangi ini dikenal dengan sebutan Plobangan Selomerto.
Karena Demang Selomerto sudah lanjut usia, pada tahun 1487 menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada Dyah Plobowangi. Perkebunan teh di sepanjang lereng gunung Dieng, perkebunan tembakau di kaki gunung Sundara Sumbing dan peternakan sapi di sekitar aliran kali Serayu.
Atas restu Sunan Kalijaga, Ki Ageng Wonosobo bersama istrinya Dyah Plobawangi meneruskan kepemimpinan Demang Selomerto, sehingga wilayah itu berkembang pesat. Suatu saat Kanjeng Sultan Syah Alam Patah Jimbun Sirullah I atau Raden Patah, raja Demak Bintara hadir di Kademangan Wonosobo. Melihat kemajuan dan kemakmuran, raja Demak Bintara ini amat senang. Pada momen kedatangannya inilah, Raja Patah menetapkan Ki Ageng Wonosobo menjadi Adipati Wonosobo. Sehingga wilayah Wonosobo yang tadinya berupa kademangan naik status menjadi Kadipaten, yang langsung berada dibawah kerajaan Demak. Peristiwa kedatangan Raden Patah itu terjadi pada 25 Mei 1489. Ki Ageng Wonosobo memerintah tahun 1489 – 1529.
Hubungan Demak dengan Wonosobo sangat dekat, karena Raden Patah (anak ke-13 Brawijaya V) merupakan kakak kandung dari Bondan Kejawen, bapaknya Ki Ageng Wonosobo. Bahkan ketika Demak runtuh berganti kerajaan Pajang, eksistensi Kadipaten Wonosobo masih diperhitungkan.
Pada masa kerajaan Mataram, wilayah Wonosobo merupakan wilayah otonom (perdikan) yang memiliki wewenang mangatur sendiri dan tidak wajib setor upeti. Hal ini disebabkan karena anak turun Ki ageng Wonosobo merupakan tokoh sentral di Mataram, seperti Ki Juru Martani dan Nyai Sabinah.
Nyai Sabinah adalah Ki Ageng Pemanahan (peletak cikal bakal kerajaan Mataram) ini melahirkan Danang Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar, yang kelak menjadi raja Mataram pertama Mataram bergelar Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panetep Panatagama. Dengan begitu kerajaan Mataram didirikan oleh keturunan langsung Ki Ageng Wonosobo.
Eksistensi wilayah Kadipaten Wonosobo ini mulai redup ketika pusat kekuasaan Wonosobo dipindah dari Plobangan (Selomerto) pada era Setjinegoro (1825). Perpindahan itu sebenarnya tidak disengaja karena untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Warga Plobangan (Wonosobo-yang asli), bersembunyi ke wilayah Wonosobo yang sekarang. Dulu wilayah ini adalah wilayah yang berbukit, berawa dan sulit dijangkau sehingga tepat untuk dijadikan wilayah persembunyian. Karena melakukan pengungsian cukup lama, sehingga wilayah yang awalnya menjadi tempat persembunyian ini dalam berkembangannya menjadi padat penduduk dan menjadi pusat ibu kota Kabupaten Wonosobo hingga saat ini. Jadi maklum kalau pusat ibu kota Wonosobo wilayahnya sempit, tidak rata dan kanan-kirinya jurang atau lembah.
Jadi dari ulasan singkat di atas, jelas sudah bahwa Kabupaten Wonosobo memiliki sejarah panjang. Wilayah Wonosobo bukanlah wilayah kemarin sore yang baru berumur 195 tahun, tetapi jauh sebelum itu Wonosobo telah menjadi wilayah administratif yang lengkap. Terutama sejak Raden Patah mengangkat Ki Ageng Wonosobo menjadi Adipati Wonosobo pada 25 Mei 1489. Pada saat itu sebagai Kadipaten, Wonosobo telah memiliki wilayah yang jelas, memiliki rakyat, memiliki sistem pemerintahan dan diakui kerajaan Demak.
Berdasarkan sejarah itu, pihak-pihak yang mempertanyakan tanggal lahir Kabupaten Wonosobo memiliki relevansinya.
Penulis: Amirudin, Pemerhati Sejarah dan Budaya Lokal Wonosobo serta Redaktur Senior LPM SQ.