Ilustrasi : Nurul Milah (SQ)

SQPers- Dear Diary,

Hari ini tepat dua puluh tujuh tahun aku hidup di dunia. Tapi, mengapa Engkau belum juga memberikan seorang imam yang baik untukku? Padahal, aku sudah menjadi pribadi yang lebih baik, aku sudah melaksanakan sholat, aku mengaji, bahkan, aku sering berpuasa sunnah. Aku tak tau apa yang salah dalam hidupku, apa yang kurang dalam ibadahku? Apa dosaku di masa lalu yang membuat-Mu urung memberikan pendamping hidup utukku?

Allah, aku tak sanggup berada pada situasi seperti ini. Aku malu … aku malu pada mereka yang sudah membina rumah tangga dengan umur yang masih muda. Aku malu jika mereka menganggapku sebagai perawan tua. Allah, beri aku kesempatan untuk menjadi seorang isteri. Beri aku kesempatan untuk menyempurnakan agamaku. Allah, aku tak tau harus bagaimana lagi. Aku lelah, aku gelisah hanya memikirkan jodohku. Apa aku salah jika aku terus berharap? Apa aku harus menyerah?

Sudah empat tahun sejak kepergian Mas Azzam, kenapa Engkau belum memberikan penggati? Kenapa aku harus menghadapi kerasnya hidup dalam kesendirian? Tanpa penopang dan tanpa sandaran. Empat tahun yang lalu, aku memiliki kekasih yang sangat baik perangainya, pengertian dan juga mempunyai rasa tanggung jawab, Mas Azzam namanya. Tetapi, belum kami mereguk manisnya pernikahan, Engkau telah mengambilnya terlebih dahulu. Kenapa?

Aku hancur! Tak ada lagi tempat untuk berkeluh kesah, tak ada lagi semangat untuk melanjutkan hari. Aku tak tahu, seandainya saja aku tak meminta Mas Azzam untuk mengambil cuti terlebih dahulu, mungkin Mas Azzam masih berada di sisiku. Mendampingiku dan menjadi penguat hatiku. Seandainya aku mau bersabar sedikit saja, pasti aku tak akan kehilangan Mas Azzam. Sampai saat ini, aku masih berandai-andai akan hal tersebut.

Jika memang aku belum layak, beri aku kekuatan lebih, beri aku hati yang lebih lapang, dan beri aku kesabaran yang lua, agar aku bisa menghabiskan sisa hidupku sebelum bertemu dengan-Mu.

“Kak Laras! Ayo makan!” teriak Arum dari luar. Sontak kuhentikan tanganku yang tengah mengukir aksara di selembar kertas bernuansa musim semi. Lembaran demi lembaran yang telah terisi menggambarkan keadaan hatiku sesungguhnya, berharap akan kembali bersemi dengan cepat.

Astaghfirulloh.’

Lagi-lagi aku menyalahkan Allah atas apa yang menimpaku. Padahal, kematian sudah menjadi takdir-Nya dan tak ada satu orangpun yang dapat melewatinya. Aku tengah berada pada titik terendah dalam hidupku. Selepas kepergian Mas Azzam, aku tak lagi dekat dengan laki-laki manapun, bukan, bukan aku tak mau mendekat. Hanya saja aku tak ingin menjalani hubungan tanpa ikatan resmi. Aku tak ingin kembali merasakan perpisahan untuk kesekian kalinya.

“Kakak Laras!” Arum kembali mengetuk pintu kamarku, kali ini terdengar lebih keras dan cepat.

Aku mengatur nafas agar suaraku tak bergetar, tangis yang kembali aku ulang setelah empat tahun kepergian Mas Azzam. “Iya, sebentar.” Menutup buku yang selama ini menjadi teman dalam keheningan dan menyimpannya dalam almari.

“Kak, kapan mau menikah? Udah lama loh sejak Mas Azzam meninggal dunia aku nggak lihat Kakak dekat dengat laki-laki lain.” Untuk pertama kalinya, Arum menanyakan hal tersebut. Tepat di meja makan saat hari ulang tahunku tiba.

“Belum nemu jodoh, Rum,” jawabku dengan memindahkan nasi ke atas piring.

“Yah … lagian Kakak nggak pernah deket sama cowok. ‘Kan jadi susah dapet jodoh,” ujar Arum dengan wajah ditekuk.

Aku tersenyum menanggapinya, walaupun dalam hati ingin sekali menangis mengadukan kekhawatiranku kepada Arum, tetapi aku tak ingin menambah beban Arum, ia sudah lelah bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di kota ini. “Doakan saja,” pintaku padanya.

“Pasti, Kak … aku nanti pulang malam ya, Kak? Bang Ghafar mau ngajak nonton katanya. Nggak papa, ‘kan?” Ghafar merupakan kekasih Arum yang sudah dua tahun ini mengisi hatinya.

“Jam sembilan sudah di rumah, ya?”

“Siap, Kak. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamitnya meraih tangaku sebelum meninggalkanku sendiri.

Aku dan Arum tinggal berdua di rumah ini, tepatnya setelah ayah dan ibu berpulang setahun yang lalu akibat kecelakaan pesawat selepas menghadiri pernikahan Om Naufal. Hal ini membuat kami harus menjadi yatim piatu. Berat, hari bahagia setelah pernikahan Om Naufal harus berganti menjadi tangis kesedihan. Bahkan, Om Naufal berkali-kali meminta maaf atas kejadian ini, beliau bersedia menanggung biaya hidup kami selama belum memiliki suami, tetapi aku menolak permintaannya, bagaimanapun juga musibah tak ada yang menginginkannya. Dan lagi, ini sudah menjadi takdir kami.

Kehilangan orang tua dalam waktu yang bersamaan membuat hatiku hancur, bagaimana bisa? Selama ini mereka yang menopang hidupku, yang menguatkanku dan memberi kasih sayang untukku. Aku memulai hidupku dari awal, merangkak dan menata hati dengan sangat pelan. Kehilangan orang tercinta membuat kenanganku kembali menguap. Mas Azzam, setiap melihat kecelakaan, aku selalu mengingat Mas Azzam, ditambah ayah dan ibu. Ah, kenapa aku harus di hadapkan dengan sebuah kecelakaan?

[Assalamualaikum, Ukthy Fillah,

Minggu depan kajian rutin Teh Hanin di Masjid Az-Zahra jam sembilan pagi dengan tema ‘Jodoh dengan Kematian. Siapkan diri dan starterkitnya ya, Ukhty Fillah, Jazakillah khayr.]

Pesan masuk dari grup kajian membuyarkan lamunanku, tema kajian kali ini sangat menarik. Beberapa bulan ini aku mulai merubah hidupku, aku mulai mengikuti kajian dan memperdalam ilmu agama, sebagai ikhtiar untuk mencari jodoh.

Hari Sabtu pagi aku bergegas menuju Masjid Az-Zahra, bertemu dengan sahabat yang sangat mendukung perubahanku, bahkan tak jarang dari mereka yang memberi motivasi dan pengalaman hidup ketika memulai berhijrah.

“Jadi, Ukthy semua sudah mempersiapkan apa nih untuk menjemput jodoh?” tanya Teh Hanin di sela-sela kajian.

“Banyak, Teh,” jawab sang prmbawa acara dengan diakhiri kekehan singkat.

“Wah … alhamdulillah, pasti sudah siap menikah, ya? Menyempurnakan separuh agama dalam ikatan suci pernikahan. Menjalankan ibadah terpanjang dalam hidup. Pokoknya sudah melakukan yang terbaik, deh! Mulai dari mempelajari ilmu pernikahan, tips dan trik serta kiat-kiat menjadi isteri solehah, memperbaiki diri, bahkan menyisihkan gajinya untuk modal pernikahan.

“Tapi, apa kalian tahu, Ukhty? Kita terlebih dahulu berjodoh dengan pernikahan atau kematian? Nah, gimana tuh? Jadi, kita sudah mempersiapkan diri kita untuk bertemu pasangan halal kita, tetapi kita malah berjodoh dengan kematian, kita bertemu dengan Allah. Lalu, bekal apa yang akan kita bawa?”

Perkataan Teh Hanin menusuk tepat di hatiku. Sakit, tak ada alasan yang bisa membuat hatiku baik-baik saja setelah mendengar perkataannya. Tak berbeda denganku, ruangan yang semula terdengar kelarak singkat mendadak hening, bahkan sebagian dari mereka menundukkan kepala, termasuk aku.

“Hm … jadi, Ukhty yang sekarang berhijrah, memperdalam ilmu agama hanya untuk mendapatkan jodoh terbaik, mendapat pasangan hidup terbaik, yuk … kita perbaiki niat kita. Langkah awal kita untuk mencapai tujuan. Nah, niatnya gimana atuh, Teh?”

Hatiku bergetar mendengar materi yang disampaikan Teh Hanin. Apakah aku juga salah satu orang yang memperbaiki diri hanya untuk mendapat pasangan yang terbaik? Apa selama ini niatku salah? Aku bukan berubah karena Allah, tetapi aku berubah karena ingin mendapatkan jodoh.

“Ukhty Fillah … mendapatkan imam yang sholih itu hanya bonus, jangan jadikan tujuan akhir. Tetapi, jadikan akhirat sebagai tujuan akhir. Dengan niat yang baik, inyaallah, akan mendapatkan hasil terbaik. Jadi, ayo kita sama-sama memperbaiki niat kita, perbaiki ibadah dan akhlak kita.

“Sampai di sini ada yang ingin ditayakan?” sambung Teh Hanin. Aku mengangkat tangan berharap mendapat kesempatan.

“Iya, Ukhty yang memakai khimar navy. Silahkan,” ujar Teh Hanin menunjukku.

“Assalamualaiku, Teteh. Perkenalkan nama saya Laras. Saya ingin bertanya, bagaimana cara agar hati kita jatuh kepada Allah dan tidak memikirkan masalah jodoh lagi? Mengingat umur yang kian bertambah dan desakan dari keluarga untuk segera berumah tangga, membuat hati goyah dan menyalahkan takdir. Bagaimana agar kita bisa menerima takdir yang Allah beri? Terimakasih, Teh Hanin. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam, pertanyaan yang menarik. Jadi, bagaimana sih agar kita jatuh cinta kepada Allah? Apa yang harus kita lakukan untuk mencintai Allah? Bagaiana agar kita bisa menerima takdir? Yang pertama, perbaiki langkah awal … niat untuk dekat sama Allah apa, sih?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul- Nya  maka ia akan mendapat pahala hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya.’

Jadi, niatkan karena Allah dan Rasulullah. Gali lebih dalam tentang kebesaran Allah, dan pelajari Sirah Nabawiyah untuk mengenal Rasulullah. Semakin kita sering bercengkrama dengan Allah, maka hati kita akan terpaut dengan-Nya. Percayalah bahwa apa yang ada di sisi Allah itu yang terbaik. Curahkan isi hati kita sama Allah, mengadulah kepada Allah di hamparan sajadah saat sepertiga malam tiba. Percaya dan yakin dengan takdir Allah, karena Allah tau mana yang terbaik untuk kita.”

Hatiku tenang, aku tak lagi memikirkan jodoh. Aku berserah diri kepada Allah, apapun yang Allah takdirkan untukku, itulah yang terbaik untukku. Setiap hari kuhabiskan untuk memperdalam ilmu agama. Aku takut jika jodoh yang datang kepadaku bukanlah pernikahan, tetapi sebuah kematian.

Berbulan-bulan menjadi diri sendiri, tak ada gelisan dalam hati, pun saat mendengar rencana Arum dan Ghafar yang akan melangsungkan acara pertunangan. Aku tak lagi sakit hati, aku bersyukur Allah masih memberi waktu untukku melihat adikku bahagia. Aku hanya bisa berdoa agar kebahagiaan yang Arum rasakan bisa juga aku rasakan suatu saat nanti, setelah Allah memberikan kepercayaan untukku membina rumah tangga.

Fokus dalam tujuan awal, perbaiki niat, dan bersungguh-sungguh dalam melakukan suatu hal akan membawa hasil terbaik, aku yakin, siapapun jodohku nanti, entah kematian ataupun pernikahan, aku hanya ingin memberi tangis bahagia untuk keluargaku. Bahagia melepasku kepada seorang suami atau tangis bahagia jika mereka harus mengikhlaskanku bertemu dengan Allah, ayah, ibu, dan Mas Azzam.

Karya : Fella Zufah (Tim Redaksi LPM Shoutul Qur’an)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *