SQpers-Minggu (9/7) siang, saya jalan-jalan ke Alun-alun Kabupaten Wonosobo, yang mana titik berangkat dimulai dari Kostan saya di daerah Terminal Medolo. Perjalanan itu saya tempuh menggunakan Bus dan sampai di alun-alun sekitar pukul 11.30 WIB. Adapun dalam perjalanan, saya menikmati udara sejuk yang membelai wajah dan rambut gondrong saya dengan lembut.

Ketika sampai di Alun-alun Kabupaten Wonosobo, saya berkeliling memperhatikan bagaimana orang-orang membeli jajanan, menonton barongan naga, dan juga menikmati hiburan musik saya lakukan. Saya memperhatikan keramaian ini secara seksama dan merasa senang. Tetapi, ada satu hal yang mengganjal pikiran saya.

Pada minggu itu, sampah berserakan kemana-mana. Disepanjang jalan, lapangan hijau, dan sekitar pohon besar dialun-alun terdapat sampah yang berceceran. Sampah-sampah itu adalah hasil dari orang-orang yang beraktivitas disana. Kemudian, saya mencoba mencari tempat sampah. Ternyata tempat sampah di Alun-alun sangat minim dan ketika saya menemukannya ternyata juga sudah penuh. Pada akhirnya, saya memasukkan sampah jajan saya ke dalam kantong celana. Kantong celana saya sendiri, ya! Bukan orang lain.

Saya mendekat ke panggung utama dan melihat tulisan “Sentra Industri” (sentra artinya pusat) yang menjadi background panggung. Yang mana, tulisan tersebut juga akan saya temui dikemudian hari jalan di sekitar Pasar Kertek.

Pemerintah Kabupaten Wonosobo yang ambigu

Dalam pemberitaan gatra.com yang terbit tanggal 21 Februari 2022,  Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat mengatakan bahwa Kabupaten Wonosobo termasuk salah satu wilayah yang rentan darurat sampah. Bahkan dalam berita yang sama juga, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wonosobo, Widi Purwanto saat itu menyatakan bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Wonorejo sudah overload dan menjadikan Wonosobo darurat sampah. Itu pada tahun 2022, lho! Lalu bagaimana dengan hari ini?

Dengan fakta Kabupaten Wonosobo yang darurat sampah, Pemerintah Kabupaten Wonosobo malah mendorong adanya industrilisasi.  Yang mana, dalam pendahuluan jurnal Pengaruh Faktor-faktor Ekonomi dan Kependudukan terhadap Timbulan Sampah Di Ibu Kota Provinsi Jawa dan Sumatera dijelaskan bahwa pertumbuhan penduduk, industrilisasi, urbanisasi, dan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan terjadinya peningkatan sampah yang signifikan pada perkotaan di seluruh dunia.

Ketika kita melihat kembali peta Alun-alun Kabupaten Wonosobo, maka akan kita temukan bahwa Kantor bupati wonosobo, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Pendopo, KODIM Wonosobo, DPRD Kabupaten, Sekretariat Daerah dan Samsat Wonosobo ada di sekeliling Alun-alun Wonosobo. Namun, yang terjadi adalah pengelolaan sampah pada daerah Alun-alun tidak terurus dengan baik. Jadi apakah tidak mengkhawatirkan, jika seandainya tema “Sentra Industri” malah menjadi “Sentra Sampah.” Hal itu dikarenakan tanpa persiapan pengelolaan sampah yang sudah baik dari hulu ke hilir, maka rencana menjadi “Sentral Industri” malah menjadi bencana.

Pelan-pelan Pak Bupati, ada sampah Nabi Adam (maksudnya besar)!” Ucapan  ibu-ibu yang viral tiba-tiba terngiang di imajinasi saya.

Belajar dari Pembakit Listrik Panas Bumi (PLTP) di Dieng

Dalam laporan jurnalistik balairungpress, diketahui bahwa pembangunan industri pembangkit listrik Geothermal telah mengakibatkan dampak negatif, bahkan menimbulkan korban jiwa. Yang lebih parah lagi, diketahui juga bahwa sebenarnya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Geo Dipa ini melakukan pembangunan tanpa permisi pada masyarakat. Tetapi anehnya, pada tanggal 10 Maret 2023 PT. Geo Dipa Energi (Persero) membuat berita sendiri bahwa pada tanggal 10 Februari 2023 telah melakukan diskusi. Adapun hasil diskusi tersebut dalam berita tersebut adalah warga yang hadir, jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Banjarnegara, serta Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan (Forkompinca) menyatakan mendukung dan menyepakati bahwa Proyek Dieng (merupakan Proyek Strategis Nasional yang ramah lingkungan serta tidak berbahaya bagi ekosistem, masyarakat, dan lingkungan.

Jika kita perhatikan secara seksama berita yang berasal dari PT. Geo Dipa Energi maka akan ditemukan beberapa keganjilan. Pertama, diketahui bahwa tempat tidak dilakukan di daerah atau desa yang telah terjadi konflik. Kedua, Jumlah,dari warga yang hadir tidak disebutkan berapa. Lalu ketiga, berita di terbitkan setelah tigapuluh hari kegiatan dilakukan. Dimana hal ini tak sesuai dengan sifat dari suatu pemberitaan yang seharusnya aktual kalo terkait event. Sebenarnya ada satu elemen yang tidak diikutkan dalam diskusi itu, yaitu mahasiswa. Yang mana, mahasiswa selalu identik dengan pemikiran kritis. Dari kejadian PLTP Dieng juga, diketahui bahwa tidak melibatkan mahasiswa mungkin merupakan kesalahan dan bentuk ketidakketerbukaan terhadap kaum terdidik dan masyarakat. Jadi, hal perlu dijadikan catatan bagi Pemerintah Wonosobo adalah “jangan anti kritik dan jangan takut mahasiswa/kaum muda” dalam merencanakan program pembangunan.

Penulis: Ihsanul Mukminin

Editor: LE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *