Dengan pendidikan atau ilmu pengetahuan, Soekarno memiliki bekal untuk memerdekakan bangsanya. Namun, dengan ilmu pengetahuan, Adolf Hitler juga memiliki bekal strategi dalam melakukan pembantaian terhadap Bangsa Yahudi.

Pendidikan merupakan hal dasar atau modal utama yang harus diperhatikan untuk menciptakan kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai tuntunan dalam hidup, yang dalam prosesnya berupaya memanusiakan manusia, sehingga harus memerdekakan manusia dari segala aspek kehidupan, baik secara fisik, mental,  jasmani, dan rohani.

Setiap warga negara tentunya membutuhkan pendidikan, sebab pendidikan memiliki beberapa fungsi, misalnya sebagai faktor peningkatan mutu atau kualitas SDM. Dengan berpendidikan, tiap warga akan mendapat wawasan yang luas, dan nantinya dapat mendorong pembangunan atau menciptakan suatu perubahan. Maka dari itu, sudah merupakan kewajiban bagi pemegang wewenang suatu negara untuk menjamin hak warga negaranya agar mendapatkan pendidikan yang layak.

Melalui UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 disebutkan: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (1), dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (2).

Namun, adanya peraturan ini masih ibarat ‘sebatas tinta di atas kertas’, dan nilai-nilai yang terkandung belum sepenuhnya diimplementasikan. Justru sebaliknya, pendidikan malah dijadikan ‘objek’ perdagangan yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja.

Hal ini dibuktikan, melalui organisasi internasional: World Trade Organization (WTO), dengan kebijakan General Agreement on Trade in Services (GATS) yang menetapkan pendidikan sebagai salah satu komoditas di  bidang jasa yang dapat diperjualbelikan. Sejalan dengan itu, WTO juga menempatkan pendidikan di bidang usaha kebutuhan tersier. Dan ditambah dengan bergabungnya Indonesia dengan WTO sejak 1995, yang tentunya menyepakati peraturan-peraturan yang ada di dalamnya, termasuk soal aturan atau ketetapan komoditas pendidikan ini.

Padahal, substansi dari aturan tadi jelas, yaitu mengubah pendidikan yang semestinya merupakan hak warga negara, malah menjadi suatu barang dagangan yang bisa dijualbelikan, dan dengan itu akan mendorong terciptanya sistem komersialisasi pendidikan.

Komersialisasi sendiri memiliki arti perbuatan yang menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan (menurut KBBI). Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti upaya secara sengaja menciptakan sebuah sistem untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya melalui sektor pendidikan. Dan ini tidak selalu bermakna positif, tapi justru sebaliknya: mahasiswa atau peserta didik dalam institusi pendidikan hanya merupakan ‘investor’ atau ‘subjek modal’ bagi para korporasi atau pengelola institusi pendidikannya yang sedang meraih profit sebanyak mungkin.

Bentuk komersialisasi pendidikan ini sangat beragam, misalnya ketika sebuah institusi pendidikan membutuhkan sokongan dana lebih, lalu menaikkan biaya bulanan seperti SPP pada peserta didik atau mahasiswanya, namun dana yang didapat tadi tidak digunakan untuk keperluan fasilitas penunjang pembelajaran, namun hanya digunakan untuk kepentingan promosi atau ‘branding’ saja, yang tentu saja merugikan para peserta didik atau mahasiswa yang ada.

Dan makin hari makin terasa adanya nuansa aroma sistem komersialisasi pendidikan ini. Hal ini dibuktikan dengan timbulnya beberapa dampak dari sistem ini. Dampak yang mungkin dirasakan oleh beberapa orang namun tidak mereka sadari, yaitu dampak seperti makin tingginya biaya pendidikan, atau sulitnya memperoleh pendidikan tinggi bagi yang kurang mampu secara ekonomi; sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa masih hanya sekadar impian.

Malangnya, beban dari sistem komerisialisasi pendidikan ini ditimpakan pada warga negara. Dan sistem ini sudah merambah hingga ke Kampus UNSIQ yang menghantam para mahasiswanya dengan berbagai persoalan. Mulai dari masalah transparansi dana; naiknya biaya SPP atau SKS; masalah fasilitas, dari sarana prasarana, fasilitas dosen, juga sistem penunjang pembelajaran; dan lainnya. Belum lagi para mahasiswa ditekan untuk mengikuti beberapa kegiatan, seperti SPL, KKL, dan KPM, yang tentunya diharuskan mengeluarkan dana untuk pembayaran yang tak sedikit.

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk tak hanya merasakan masalah, namun juga sadar akar dari pemasalahan pendidikan ini adalah dari sistemnya, sistem yang menindas para mahasiswa atau peserta didik, sementara para petinggi institusi sibuk mencari dan meraup keuntungan. Dan karena pendidikan yang dikomersialkan ini, agar kita tak terjebak dalam ‘lingkaran setan’, diperlukan kooperasi atau kerja sama antara pemerintah, institusi, dan masyarakat. Dengan bersama-sama, tentu akan lebih mudah untuk mengembalikan esensi pendidikan yang lebih bermutu dan adil, agar mendorong perubahan sosial dan masa depan yang lebih baik.

Penulis: Syifa’un Naja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *