Perjalanan keliling Indonesia tim Ekspedisi Indonesia Baru (EIB) selama 424 hari tiba di Tol Kahyangan, Desa Sigempol, kawasan pegunungan Dieng pada (28/9/23). Tim mengawali perjalanan sejak 1 Juli 2022 dengan menggunakan sepeda motor.

Perjalanan ini melibatkan empat personil lintas generasi: Farid Gaban (Generasi Boomer), Dandhy Laksono (Generasi X), Yusuf Priambodo (Generasi Y) dan Benaya Harobu (Generasi Z).

Ekspedisi Indonesia Baru menempuh jarak 11.000 Km, melewati 26 provinsi, 120 kota serta melakukan 16 penyebrangan: Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Papua, Maluku Utara dan Kalimantan. Keempat personil terbagi dua tim: Farid dengan Yusuf dan Benaya dengan Dandhy; yang mana telah mengunjungi titik paling barat di pulau Weh, Aceh dan titik paling timur di Jayapura, Papua.

Bahkan, Dandhy sengaja membawa paspor untuk menyambangi Timor Leste sekaligus melihat jejaring dan perserikatan masyarakat yang membentuk sebuah koalisi partai, terdiri dari sejumlah organisasi pencak silat yang merupakan perguruan atau persaudaraan berasal dari Indonesia.

Tujuan dari ekspedisi ini salah satunya, merekam imajinasi, harapan warga tentang Indonesia. Kemudian meneliti serta mencatat keragaman hayati hingga merangkai simpul-simpul komunitas sepanjang perjalanan.

Selama perjalanan tim telah membawa pulang 18 terabytes rekaman video dan 12.000 frame foto bertema Indonesia.

Selain itu, tim telah menghasilkan sepuluh judul film, dua di antaranya film pendek dokumenter: “Silat Tani”, “Angin Timur,” “Base Genep”, “Soulmates” dan “Tanah Tabi” yang merekam sejumlah topik seputar konflik agraria, kelautan, masyarakat adat hingga keragaman hayati yang tercermin dalam kuliner, tenun dan obat tradisional serta menghasilkan serial film dokumenter “Dragon For Sale” yang berisi lima film bertopik kontroversi pariwisata pulau komodo dan “10 Bali Baru”.

Tak hanya itu, film produksi EIB juga merekam topik soal geothermal, pertambangan nikel, hak atas rumah dan tanah hingga persoalan ibukota baru (IKN).

Sumber: idbaruid

Perspektif Lintas Generasi

Benaya Harobu sebagai personil tim termuda Ekspedisi Indonesia Baru selama perjalanan menangkap sejumlah isu yang pada hari ini sedang dihadapi masyarakat. Optimisme di kalangan anak muda, kata Benaya, terlihat antusias dan baik. Terbukti saat meliput di Labuan Bajo, terdapat 16 videografer yang turut membantu riset di lapangan. Kesulitan yang dihadapi adalah saat merekam di wilayah dengan hasil liputan beresiko.

“Keunikan dan keberagaman itu yang membuat menarik. Liputan beresiko tidak bisa kami paksakan, untuk itu kami butuh simpul-simpul dari komunitas, menggunakan kapal warga untuk menuju lokasi,” terang Benaya pada konferensi pers Ekspedisi Indonesia Baru (28/9).

Perspektif unik perpaduan generasi seperti Ekspedisi Indonesia Baru ini, menurut Yusuf Priambodo, memperkaya cara mengolah produk film yang dihasilkan. Tantangan kedepannya juga masih seputar bagaimana mengolah sejumlah video dan rekaman selama perjalanan.

“Cara kami mengolah mampu menghasilkan dan memperkaya perspektif melalui lintas generasi. ‘Masihkah generasi Indonesia punya optimisme?’. Meski memakan waktu lama (untuk mengolah rekaman) tapi itulah cara kami,” terang Yusuf

Selama perjalanan Yusuf mempelajari problem solving dan critical thinking atas masalah yang tengah dihadapi. Ia turut belajar bagaimana teknik penulisan skrip yang baik kepada Farid Gaban juga teknis pengolahan video dokumenter dari Dandhy Laksono.

Perjalanan Ekspedisi Indonesia Baru merupakan ekspedisi kedua yang dilakukan Dandhy Laksono dan Farid Gaban. Sebelumnya, pada 2009, Farid melakukan perjalanan keliling Indonesia (Zamrud Khatulistiwa) bersama Ahmad Yunus, seorang jurnalis. Enam tahun berselang, pada 2015 Dandhy terinspirasi untuk melakukan perjalanan “Ekspedisi Indonesia Biru” bersama fotografer Suparta Arz.

Perbedaan antara Ekspedisi Indonesia Baru dengan Ekspedisi sebelumnya, bagi Farid Gaban, di antaranya kerusakan semakin masif, bentuk ketidakadilan yang dialami masyarakat serta eskalasi permasalahan-permasalahan itu semakin meningkat selama 10 tahun terakhir.

“Paradigma jadi buruk, masalah mengalami eskalasi bahkan memperparah, kerusakan, ketidakadilan. Itu yang terjadi selama 10 tahun. Paradigma kita nggak berubah dari zaman orba yang orientasinya berpusat pada fisik (pembangunan),” terang jurnalis yang kini berusia 62 tahun tersebut.

Isu fundamental sejak Ekspedisi yang dilakukan Farid sebelumnya tak jauh dari konflik garis pantai, kondisi masyarakat tropis, paradigma pembangunan dan persoalan lingkungan seperti terumbu karang.

Sumber: idbaruid

Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru Mulai Olah Dokumentasi Perjalanan

Setelah selesai Ekspedisi kini tim koperasi EIB mulai olah hasil rekaman selama perjalanan agar bisa dikonsumsi dan bermanfaat bagi publik.

“Semoga apa yang kami upayakan menjadi sumbangan bagi perubahan di Indonesia menjadi lebih baik. Karena itulah esensi dari Ekspedisi Indonesia Baru,” pungkas Rumiyati, pimpinan Koperasi Ekspedisi Indonesia Baru yang berbasis di Wonosobo, Jawa Tengah dalam keterangan tertulis siaran pers @idbaruid

Ekspedisi Indonesia Baru dikelola dengan sistem koperasi yang beranggotakan jurnalis, mahasiswa, aktivis lingkungan dan konten kreator.

Upaya masyarakat untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan perlawanan adalah dengan tiga hal: kekuatan ekonomi, organisasi dan propaganda informasi lewat media. Ketiganya merupakan gerakan sosial yang cukup liat dan kuat.

Selaras dengan Dandhy, Farid Gaban mengamini alasan Ekspedisi kedua ini lebih terencana dan memiliki manajemen cukup baik dengan mengutip perkataan Bung Hatta: koperasi sebagai institusi ekonomi dan sosial.

“Ada dua level yang menjadikan gerakan sosial menjadi kuat, pertama level di sekitar kita seperti organisasi lokal, advokasi lewat konten dan meriset hal-hal secara mendalam. Kedua, level kebijakan, bagaimana kita mengawal penuh dengan cara berjejaring lewat simpul komunitas,” tutup Farid Gaban.

Pewarta : Anwar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *